Selasa, 10 Februari 2009

Rekonsiliasi dan Hidup Rukun

17 Agustus 08

Kej 45: 1-15

Maz 133

Roma 11: 29-32

Mat 15: 10-20

Merdeka! Saudara saudara, Merdeka! Mengapa kita susah sekali mengatakan merdeka? Masih banyak dari kita yang mengatakan dengan setengah hati, yang malu-malu? Hari ini adalah hari kemerdekaan kita yang ke 63 tahun saudara! 63 tahun sejak Presiden pertama kita menggemakan proklamasi di Pegangsaan 56.Tapi mengapa kita masih ragu untuk menunjukkan kemerdekaan kita? Sesungguhnya bukan karena kita sedang berada di ruang ibadah, tapi lebih kepada karena kita memang belum sunguh merdeka bukan? Indonesia memang sudah merdeka sejak tahun 45, pembangunan telah dilakukan dengan begitu luar biasa oleh Presiden Soeharto hingga ia dijuluki bapak pembangunan. Tapi sesungguhnya manusia Indonesia masih belum merdeka! Masih banyak yang terbelenggu baik itu kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, kapitalisme global yang membuat rakyat miskin bertambah miskin dan yang kaya bertambah kaya. Kita belum bebas dari feodalisme pribumi yang memperbodoh, membelenggu, dan melayukan hidup wong cilik dan yang menjerumuskan manusia Indonesia kepada mentalitas jongos, yang nrimo saja, yang berkata ”Wong dari sananya udah begitu, ya ikutin aja, ojo neko-neko”.

Kerusuhan demi kerusuhan, pertengkaran demi pertengkaran, hingga pembunuhan demi pembunuhan makin semarak di usia indonesia yang ke 63 tahun ini. Mengapa ini semua terjadi pada kita? Karena sesungguhnya di dalam diri setiap anak bangsa masih banyak kekecewaan, dendam yang tidak tersampaikan. Kita semua yang ada di sini belum menjadi manusia yang benar-benar bebas, benar-benar merdeka, kita masih menjadi manusia yang tertawan oleh diri kita sendiri, oleh kebencian dan egoisme kita sendiri, oleh kepentingan diri, oleh gengsi diri. Kita tidak akan pernah dapat meneriakkan merdeka dengan kesungguhan ketika kita juga masih hidup dalam perselisihan dan kecurigaan. Bagaimana mau dikatakan merdeka bila kita masih diperhamba oleh rasa benci, rasa marah dan rasa curiga terhadap sesama. Bagaimana kita dapat menjadi manusia yang merdeka bila kita tidak bebas dari perasaan yang mampu membawa kita kepada penyakit bahkan dosa dan maut?

Baik itu kemarahan, kebencian, kedengkian dan perselisihan memiliki efek yang merusakkan pikiran dan perasaan manusia, sama seperti dosa yang sifatnya merusak dan membinasakan manusia. Baik kemarahan, kebencian, dan kedengkian tidak dapat memenuhi kebutuhan manusia yaitu merasakan kebahagiaan dan kedamaian. Siapa sih dari kita yang tidak ingin hidup bahagia, hidup dalam damai yang memberikan ketenangan dalam menjalani hidup? Sya rasa tidak ada satupun manusia yang mau hidup tanpa kebahagian. Karena hidup tanpa kebahagiaan dan kedamaian laksana minum kopi tanpa gula dan susu, pahit dan tidak nikmat. Kebahagiaan dan kedamaian adalah gula dan susu dalam secangkir kopi hangat.

Bacaaan kita kali ini mencoba untuk mengingatkan kita kembali makna pentingnya sebuah pengampunan dan rekonsiliasi dalam kehidupan manusia.

Kisah Yusuf mungkin sudah kita dengar puluhan kali, sejak masih di sekolah minggu hingga masa remaja dan pemuda kita. Masalahnya apakah kisah Yusuf ini mengubah hidup dan cara pandang kita tentang pengampunan atau tidak? Kadang dalam hidup kita kita merasa kisah ini hanyalah sebuah cerita dan tidak memiliki relevansi apapun dalam kehidupan kita. Sesungguhnya, kisah ini adalah kisah yang tetap relavan bahkan sangat relevan sebagai pembelajaran kita di masa kini, yaitu masa dimana orang semakin sulit mengampuni dan berbesar hati.

Pertanyaan pertama hari ini adalah apa yang kita lakukan bila kita jadi Yusuf? Yang telah dibuang, dijual oleh saudara-saudaranya, masuk penjara karena mempertahankan kejujuran di hadapan TUHAN? Walaupun akhirnya Tuhan sunguh berpihak kepadanya. Bila kita jadi Yusuf , mungkin yang kita lakukan adalah menggunakan kuasa yang kini kita miliki untuk membalaskan kemarahan, sakit hati yang selama ini kita pendam. Tapi apa yang dilakukan Yusuf?

  1. setelah itu menangislah ia keras-keras (ay 2) Lalu kata Yusuf kepada saudara-saudaranya itu: "Marilah dekat-dekat." Maka mendekatlah mereka. Katanya lagi: "Akulah Yusuf, saudaramu, yang kamu jual ke Mesir. (ay. 4) 5 Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu. Yusuf sama sekali tidak menggunakan kekuasaan yang ia miliki untuk membalaskan sakit hantinya. Yang ia lakukan adalah menerima saudaranya dengan lapang. Apa sebenarnya yang membuat Yusuf dapat berlaku dengan begitu arif? Karena ia percaya bahwa segala yang terjadi di dalam dirinya adalah perkara yang Allah percayakan untuk ia kerjakan. Bahwa Allah menggunakan setiap peristiwa dalam hidupnya untuk mendatangkan kebaikan baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
  2. 14. ...dipeluknyalah leher Benyamin, adiknya itu, dan menangislah ia, dan menangis pulalah Benyamin pada bahu Yusuf. 15 Yusuf mencium semua saudaranya itu dengan mesra dan ia menangis sambil memeluk mereka. Sesudah itu barulah saudara-saudaranya bercakap-cakap dengan dia. Dengan keyakinan bahwa Allah memakai segala peristiwa untuk mendatangkan kebaikan bagi dirinya, ia membuka dirinya untuk menerima saudara-saudaranya dengan pengampunan yang tulus, yang ia tunjukkan dengan pelukan dan ciuman. Memang pelukan dan ciuman bisa kita gunakan sebagai topeng belaka, bahkan banyak orang menggunakan pelukan dan ciuman untuk menjatuhkan orang lain. Sering kali kita memeluk orang yang kita benci hanya sebagai formalitas, supaya orang lain melihat bahwa kita sungguh mengampuni dan memaafkan. Namun di dalam hati bara api masih membara. Bagaimana kita dapat tahu dengan pasti bahwa sungguh Yusuf mengampuni mereka dengan sungguh dan bukan untuk sebuah formallitas di hadapan bawahannya? Suruhlah keluar semua orang dari sini (ay1). Ia tidak membutuhkan pengakuan dari orang lain ketika ia mengampuni, karena pengampunan yang keluar dari hati adalah pengampunan yang bersifat tulus dan bukan sebagai topeng untuk mengangkat diri di hadapan orang lain.
  3. dan tentunya pengampunan tidak dapat dibuktikan hanya dengan mengucapkan kalimat : ” aku memaafkanmu, aku mengampunimu.” karena pengampunan harus dibuktikan dengan tindakan nyata, tindakan yang mengubah, mengubah diri kita, sikap kita dan bahkan sanggup juga mengubah orang yang kita benci, orang yang telah menghancurkan hati kita, orang yang telah mengecewakan kita.

Siapa dari kita yang tidak pernah sakit hati, kecewa? Setiap manusia pasti pernah kecewa, baik itu kepada sesama manusia maupun kepada Tuhan. Yesus tahu benar bahwa manusia sering kali dirundung kecewa dan sakit hati. Dan semuanya itu menyebabkan manusia seringkali tidak dapat mengontrol apa yang keluar dari mulutnya. Saat kita marah, emosi tentunya lebih menguasai diri kita dibandung nurani dan akal sehat. Dan di saat itulah manusia akan kehilangan kontrol terhadap lidah. Manusia tidak lagi saling membunuh dengan senapan, pistol atau bambu runcing, mereka saling membunuh dengan perkataan yang tidak menjadi berkat. Oleh karena itu Yesus memanggil orang-orang dan berkata kepada mereka: Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang." Najis menunjukkan kekotoran yang menghalangi manusia untuk dapat beribadah kepada Allah. Kita beribadah, minta pengampunan setiap minggu namun kenajisan tetap ada di bibir kita setiap hari. Kita perlu berhati-hati ketika apa yang kita ucapkan setiap hati tidak dapat menjadi berkat alih-alih menjadi kutuk bagi diri kita dan bagi orang lain. Mengapa kita perlu berhati-hati dalam ucapan? Karena: 18 Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. 19 Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Saat hati dipenuhi kemarahan, candaan bisa membuat seseorang ’meledak’, tersinggung. Hati menjadi makin panas, lidah semakin tak bertulang.

Kini bagaimana kita bisa berekonsiliasi dan hidup rukun tentunya, bukan hanya untuk diri kita, untuk keluarga, untuk persekutuan kita dalam Kristus, tapi juga untuk kehidupan antar umat beragama, antar suku bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun bagaimana kita bisa mewujudkan masyarakat yang rukun bila kita tidak mau memulai itu semua dari diri kita sendiri sebagai anak-anak Allah? Nah kini caranya:

  1. sadari bahwa hati kita memang kecewa. Jangan kita membohongi diri kita dan berkata ” saya ga marah ko” tapi perilaku kita menunjukkan kita marah dan kecewa. Pengakuan kita terhadap diri sendiri menjadi langkah pertama.
  2. menyadari bahwa mengampuni bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Bahkan mengampuni merupakan hal yang sulit untuk dilakukan.
  3. menyadari efek negatif yang ditimbulkan bila kita tidak mau belajar mengampuni: hati tidak sejahtera, ibadah kita menjadi suatu formalitas yang kotor, karena tidak didasari oleh hati yang bersih, apalagi kita adalah pelayan Tuhan! Coba pikirkan apakah Tuhan menerima pelayanan yang dilandasi oleh hati yang kotor, yang hanya penuh dengan kenajisan bagi Tuhan. Tubuh kita mungkin nampak melayani, namun hati kita tidak disana.
  4. berjanjilah pada diri sendiri, bahwa saya akan belajar untuk mengampuni, bukan hanya sekedar memaafkan, tapi sungguh berekonsiliasi. Tandanya: ada damai dan sukacita di hati kita ketika kita bertemu dengan mereka yang pernah mengecewakan dan melukai hati kita. Bila rasa damai itu belum ada maka kita belum sungguh-sungguh berekonsiliasi baik dengan diri kita sendiri maupun dengan sesama kita itu.

Mengampuni dan berekonsiliasi memang merupakan sebuah proses yang panjang, dan sering kali menyakitkan. Namun pengampunan memberikan kita kemerdekaan, kebebasan, memungkinkan kita mencapai kebahagiaan yang hakiki dalam hidup. Jadi mengampuni haruslah melibatkan seluruh diri kita sebagai makhluk, pikiran, hati, perbuatan dan dimulai dengan berkomitmen untuk tidak membalas dendam tetapi mengasihi, seperti apa yang Yesus lakukan demi sebuha rekonsiliasi dengan kita manusia.

63 tahun Indonesia merdeka harusnya membuat kita berpikir ulang akan makna kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu kemerdekaan yang menyangkut seluruh sisi kehidupan kita sebagai manusia. Dan kemerdekaan tidak akan dapat dicapai tanpa usaha dari setiap insan. Maukah kita menjadi manusia yang sungguh-sungguh merdeka? Merdekakanlah dulu diri kita! Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar