Selasa, 10 Februari 2009

Menyalibkan Manusia Lama


Kej 21: 8- 21

Maz 86: 1-10

Rom 6: 1-11

Mat 10: 24-39

Beberapa tahun yang lalu saya memiliki sebuah guling kesayangan saya. guling itu memiliki kepala gajah di salah satu bagian ujungnya. Saya selalu tidur dengan guling kesayangan saya itu, bahkan tidak hanya tidur, saat saya makan, nonton tv, guling itu tetap menemani saya. Sekian tahun berlalu guling itu tetap menjadi favorit saya, walaupun segala macam aroma sudah menempel di situ. Sudah robek-robek, sampai kapuk pengisi guling itu keluar. Tiap ada sobekan baru, saya minta papa saya untuk menjahitkannya buat saya. Guling yang tadinya panjangnya hamper satu meter, terus berkurang, sampai hanya setengah meter. Tetapi guling itu tidak kunjung saya buang. Diberi guling yang baru, malah tidak disentuh sama sekali. Walaupun sudah berpuluh pulau ‘menghuni’ guling itu, saya tetap menyukai guling itu karena nyaman sekali ketika dipeluk, tidak panas seperti guling baru saya yang berisi dakron. Karena guling ini juga memiliki kepala saya anggap guling ini jadi sahabat saya, suka saya ajak ngobrol, becanda, sampai curhat. Sampai suatu saat guling itu menghilang dari peredaran karena telah disembunyikan ibu saya.

Saya tidak tahu apakah pengalaman masa kecil saya juga menjadi pengalaman anda sekalian. Yang pasti pengalaman tersebut cukup menggambarkan kehidupan beriman saya hingga beberapa waktu yang lalu. Buat saya meninggalkan manusia lama bukan hal yang mudah untuk dilakukan, sama seperti ketika saya harus membuang guling berkepala gajah yang telah sekian tahun menemani tidur saya. Entah anda juga mengalami hal yang sama dengan saya atau tidak tapi dalam realita, kita masih bias menemukan dengan mudah orang yang mengaku sebagai orang Kristen tapi tidak berlaku kristiani dalam hidupnya. Tidak usah jemaat awam, para pendeta dan calon pendeta juga banyak yang masih tidak mampu meninggalkan manusia lamanya.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah kenapa ya banyak orang sulit untuk meninggalkan manusia lamanya? Kenapa?

  • Karena kita harus keluar dari ‘zona nyaman’ kita sebagai manusia. Kita harus mau keluar dari kenyamanan nafsu dan ego kita sebagai manusia. Enak banget rasanya, kalo kita lagi kesel ya tinggal marah, emosi ini bias diekspresikan, ga usa ditahan, perkataan boleh tidak terkontrol dan sikap hidup yang sesuka kita, sebodo teuing kata orang Sunda-mah.Berkaca dari pengalaman Hagar, bebas dari perbudakan ternyata bukanlah hal yang menyenangkan, bahkan sulit untuk dijalani. Ia harus meninggalkan kenyamanan hidup dan ketercukupan makanan dan minuman yang selama ini ia nikmati di kediaman Abraham. Bahkan ia dan anaknya harus mengalami kehausan di padang gurun.(Kej 21:15)
  • Karena kita harus keluar dari ‘zona aman’ kita. Hidup kita menjadi tidak aman dari godaan yang bias menjerumuskan kita ke dalam lubang yang lebih dalam lagi. Godaan kita apa sih? Ef 4:22, 25-31Godaan berupa nafsu yang menyesatkan termasuk nafsu makan, godaan untuk berdusta, godaan untuk marah, godaan untuk mencuri godaan untuk berkata kasar, godaan untuk memendam kepahitan, kemarahan, pertikaian dan fitnah. Pokoknya kita menjadi manusia yang rentan terhadap godaan untuk melakukan apa yang tidak berkenan di hadapan Tuhan.

Kenapa kita harus menyalibkan manusia lama?

Roma 6: 2-11 Karena kita, yang telah menyatakan dan memberi diri untuk dibaptis, seharusnya juga telah menyalibkan manusia lama kita bersama Yesus. Kita harusnya sudah dapat meninggalkan manusia lama kita dan konsekuensinya adalah tidak berbuat dosa lagi. Kita sudah ditebus, dibayar lunas, ga pake kredit, apalagi sampe abis masa jatuh tempo, tepat ketika kita memberi diri kita di baptis. Baptis memang merupakan simbolisasi. Tapi simbolisasi yang memiliki makna perubahan.

Yang sering kali terjadi adalah kita melupakan makna dari pembaptisan itu. Kita memberi diri dibapis karena sudah cukup umur, karena disuruh orang tua, karena teman sepermainan sudah pada dibaptis. Kita memberi diri dibaptis biar jadi anggota gereja, kan gampang kalo mau nikah, kalo meninggal juga ada yang ngurusin. Kita memberi diri dibaptis karena kalo orang Kristen ga dibaptis ga afdol Kristennya. Dan ironisnya kita lupa bahwa saat kita memberi diri dibaptis berarti kita siap untuk menempuh hidup yang baru, kita memberikan diri kita seutuhnya untuk Kristus dan bukan untuk diri kita sendiri, seperti apa yang Paulus katakan “Hidupku bukannya aku lagi tapi Yesus”. Gal 2:19-20

Oleh karena itu pembaptisan selalu diikuti dengan pengakuan percaya, karena baptisan bukan paksaan, bukan dorongan, melainkan keputusan yang diambil secara pribadi, tidak dapat dipaksakan. Baptisan adalah Pilihan.

Kini bagaimana caranya untuk dapat menyalibkan manusia lama kita?

  • Menyerahkan diri, (menyangkal diri (Injil menurut Markus). Saya memutuskan untuk mengganti guling kesayangan saya, bukan karena saya merasa guling ini memang sudah selayaknya diganti, karena sudah kotor, sudah tidak layak pakai, sudah rusak (di kepalanya saja jahitannya lebih dari 10, belum di badan gulingnya). Dan saya sungguh merindukan saat-saat saya dapat tidur dengan guling gajah saya. Saya juga mengalami sulit tidur karenanya. Akan berbeda ceritanya ketika guling itu saya sendiri yang menyerahkannya kepada ibu saya untuk diganti. Saat kita hendak menyalibkan manusia lama kita, inisiatifnya harus berasal dari diri kita sendiri, bukan karena orang tua, bukan karena pendeta, bukan karena Majelis Jemaat. Tuhan tidak akan memaksa saya dan anda. Ia tidak berkata” Hai Yael berilah dirimu dibaptis, ayolah, Aku sudah mati demi kau, masakan Kau tak mau memberi dirimu untukKu?” Ia bukan Allah yang membujuk dan merayu kita, Ia adalah Allah yang menunggu dengan kasih dan kesabaran agar kita benar-benar siap memberi diri kita untukNya.

Menjalankan sesuatu dengan keterpaksaan itu tidak menyenangkan. Memberi diri kita kepada Tuhan adalah langkah pertama dan langkah yang utama. Kenapa saya katakan utama? Karena orang yang siap untuk memberi diri berarti ia juga siap menanggung segala konsekuensi dari pilihannya. (Mat 10:35-39) Ia harus siap ‘dipisahkan’ dari orang tuannya, dari anak dari menantu, bahkan dirinya sendiri. Dipisahkan disini bukan berarti saat kita mau ikut Tuhan berarti kita harus menyepi, siap jauh dari keluarga (jauh di mata dekat di hati), dari orang-orang yang mengasihi dan kita kasihi. Bukan! Dipisahkan disini menuntut kita siap juga untuk jauh di mata dan jauh di hati! ay 37. Kita harus siap kehilangan mereka bahkan kita harus siap kehilangan nyawa kita sendiri. Memberi diri menuntut kita mempertaruhkan segalanya bagi Kristus. Susah ? YA.

SIAPA DARI KITA YANG TIDAK MENCINTAI KELUARGA? MENCINTAI SUAMI, ISTRI, ANAK? DAN TERUTAMA SIAPA YANG TIDAK MENCINTAI DIRI SENDIRI? Saya rasa tidak ada seorangpun yang menjawab “ YA SAYA BISA”. Tapi itu yang Tuhan mau untuk kita lakukan. DISINILAH PENYANGKALAN DIRI JUGA DIBUTUHKAN

  • Percaya bahwa Tuhan tidak akan menelantarkan kita umatNya

Apa yang bias kita pelajari dari kisah Hagar di padang gurun. Bahwa Tuhan sekali-sekali tidak akan meninggalkan kita. Ia menjadi Allah yang akan selalu menyertai kita dalam keadaan tersulit sekalipun. Ia menjadi Allah yang akan selalu ada dalam setiap perjuangan dan pergumulan kita di dunia. Dia bukan Allah yang suka mencuci tangan, seperti kebiasaan kita manusia yang kerap kali melepar batu dan sembunyi tangan. Ia mengajak kita untuk dapat menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Dia, bukan tanpa penyertaan. Dia bukan Allah yang berkata “ Rasain lo, bandel sih kalo jadi manusia, sekarang nikmati ya memikul salibnya”. Ia Allah yang berkata “ketahuilah bahwa Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman”. Ia masih Allah yang sama yang menyertai Abraham, Musa, Yosua, yang berjanji akan memegang tangan kita, memelihara kita sepanjang kehidupan kita

  • Yang terakhir adalah buktikan. kita boleh bilang kepada dunia kalau kita ini pengikut Kristus, kita boleh bilang kepada dunia kalau kita ini sudah menjadi manusia baru,kita boleh bilang kalo kita sudah siap memberi diri, menyangkal diri, dan memikul salib. Tapi kalo tidak ada bukti “ APA KATA DUNIA? ” Dunia itu butuh bukti, sama seperti ketika kita minta bukti kepada Tuhan “ Tuhan apa buktinya Kau mencintai saya?” Tuhan tidak hanya bilang Aku mencintaimu anakKu. Tapi sesungguhnya Ia menjadi Allah yang membuktikan cintaNya dengan penyerahan dirinya di kayu salib. Ia terus mengasihi walau Ia tertolak. Ia terus mengasihi walau tak kunjung terbalas. Ia juga terus mengasihi walau kasih itu sanggup mencabik tubuhNya, kasih itu jualah yang mengucurkan darah dan air mataNya, kasih yang sama juga telah membawaNya tergantung di kayu salib. Dan hingga detik ini, kasih itu jualah yang memberi kita kebebasan dan hidup yang berkemenangan. Jadi sampai sejauh mana kita mampu mengasihi Tuhan? Sampai sebesar apa ungkapan syukur kita atas kasihNya? Sampai kapan kita akan membiarkan kasihNya bertepuk sebelah tangan?

Kita memang manusia yang penuh dengan keterbatasan. Tubuh jasmani kita masih menjadi hambatan terbesar bagi kita untuk mengasihi Tuhan. Karena daging memang lemah. Tapi apakah dengan alasan itu kita tidak mau mencoba untuk mengasihi Tuhan dengan segala keberadaan kita. Oleh karena itu Tuhan meminta kita untuk menyalibkan manusia lama kita. Karena sering kali tubuh ini menjadi alasan bagi kita untuk tidak membalas kasih Tuhan, untuk menjadi pembenaran atas apa yang kita lakukan “ kan kita cuma manusia biasa, daging kan lemah.” Apakah kita sadar dengan mengatakan kita ini cuma manusia biasa berarti kita meremehkan Allah yang telah menciptakan kita segambar dan serupa dengannya. Kita ini begitu spesial di mataNya. Dan karena alasan itu jualah Ia mau mati buat manusia yang katanya ‘cuma’ ini. KITA INI BUKAN CUMA, KITA INI LUAR BIASA, KITA INI BERHARGA DAN SEMPURNA DI MATA ALLAH, YANG MEMBUAT KITA JADI CUMA ADALAH PILIHAN KITA BUKAN TAKDIR ALLAH.

Berjuta lembar kertas sekalipun tidak akan dapat mengisahkan kasih Tuhan untuk kita. Kini pertanyaannya adalah berapa lembar kertas dapat mengisahkan kasih kita untuk Tuhan?

AMIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar