Rabu, 21 Juli 2010

Terus Berkarya Menjadi Berkat

Kejadian 12: 1-9
Mazmur 126
Galatia 6: 1-10
Lukas 8: 4-15

Berkat: bless
PL : Barak, berakah= berkat, pemberian, kemakmuran dalam Tuhan, kedamaian
PB : eulogeo= berkat, anugerah, keuntungan, yang disampaikan dengan penuh syukur, dan dalam doa yang sungguh-sungguh kepada Allah

Siapa menurut anda yang dapat dipakai Tuhan untuk menjadi berkat? Semua orang? Dari semua tingkatan usia? Atau Mereka yang hanya memiliki kelimpahan kekayaan baik material, spiritual, intelektual? Mereka yang dinyatakan sempurna dan tidak bercacat? TENTU TIDAK! Seseorang menjadi berkat atau tidak, tdiak ditentukan oleh batas-batas menurut manusia. Karena berkat itu sendiri bukan berasal dari manusia! Berkat adalah pemberian Ilahi, bukan semata mata berasal dari manusia itu sendiri. Apa yang dapat diberikan manusia kepada manusia lain bila Allah tidak terlebih dahulu memberikan kepadanya?

Setiap manusia dipanggil untuk menjadi berkat, bukan dipaksa untuk menjadi berkat. Oleh karena itu menjadi berkat bukan semata-mata karya Tuhan, namun juga respon manusia terhadap panggilan Allah tersebut. Tidak ada halangan bagi setiap manusia untuk menjadi berkat bagi sesamanya, termasuk ketika manusia mulai digerogoti usia. Ketika ia tidak lagi sepandai, segesit, sesehat, sekuat dahulu ketika usia masih kepala 2 atau 3. Setiap manusia, hingga usia tertua sekalipun masih tetap dapat menjadi berkat bagi sesamanya.


Kini, bagi kita, bagaimanakah kiranya cara manusia untuk menjadi berkat yang sungguh2?

1. Apa yang unik dari seorang Abraham? Ketika Tuhan menjanjikan Abraham menjadi berkat bagi semua suku bangsa di bumi, bukan berarti janji Tuhan terjadi begitu saja sejalan dengan FirmanNya. Abraham merespon panggilan Tuhan dengan ketaatan penuh di masa tuanya. Bagi kita manusia dewasa ini usia tua adalah usia dimana manusia sulit menerima baik masukan; teguran; kritikan; pandangan yang baru, yang tidak sejalan dengan pandangannya yang terdahulu. Usia tua juga dikenal sebagai usia matang dan mapan, dimana seseorang akan memegang prinsip hidupnya lebih kuat dari masa-masa sebelumnya karena asam garam yang telah dilaluinya sepanjang kemudaannya. Tapi ternyata hal tersbut tidak terjadi pada Abraham. Dalam masa tuanya Abraham memulai perjalannya menajdi Bapa Orang Percaya, menjadi berkat bagi bangsa bangsa, dengan ketaatan penuh kepada Tuhan. Ketaatan yang membawanya kepada ketidaknyamanan, ketidakmapanan, ketakutan-ketakutan baru. Apa yang dapat kita pelajari dari respon Abraham? Menajdi berkat bagi seseorang komunitas, atau bagi siapapun, sering kali membutuhkan pengorbanan diri, kesediaan dipakai dengan cara yang tidak biasa, termasuk meninggalkan zona keamanan, dan kenyamanan. Menjadi berkat bukan semata-mata hal yang menyenangkan, kadang kita dibawaNya kepada kebimbangan dan ketidakpastian hidup, tapi disitulah kunci utamanya TAAT! Taat kepada perintahNya, bukan kita; kehendakNya, bukan kita; mengikuti jalanNya, bukan kita; aturanNya, bukan kita; untuk kepentinganNya, bukan kita.
2. Surat Galatia memberi kita tips dan resep lengkapnya bagaimana menjadi berkat. Yang pertama, bertolong-tolongan. Bukan berarti kita sebagai pribadi, tidak dapat menjadi berkat, namun alangkah baiknya bila kita menyatukan hati bersama untuk saling menolong dalam menjadi berkat. Kita tidak selalu kuat, tidak selalu memiliki semangat, tidak selalu berhikmat, tidak selalu bijak, oleh karena itu kita butuh sesama untuk meguatkan, menyemangati, memberi nasihat bijak, dan membantu kita berhikmat. Bahkan, sebelum kita menjadi berkatbagi kelompok yang lebih besar, kita dapat saling menjadi berkat satu sama lain. Kedua, saling berbagilah (6). Bukan hanya kepada yang kurang, tapi saling memperkayalah dalam kasih Kristus. Jangan hanya mau diberi, tapi berilah kepada mereka yang juga memberi kepada kita, terlepas mereka menerima atau tidak pemberian kita, yang pasti setiap orang pasti memiliki kekayaan yang dapat dibagikan kepada orang lain. Tidak ada manusia yang diciptakan hanya untuk menerima, dan tidak ada manusia yang diciptakan hanya untuk memberi. Setiap orang diberikan kesempatan untuk memberi dan menerima. Ketiga, taburlah apa yang BAIK MENURUT ROH. Dalam dunia ini kita dapat menemukan banyak orang baik, tapi sedikit orang benar. Tuhan tidak meminta kita hanya menjadi baik, tapi juga menjadi benar. Perbuatan baik kita belum tentu benar adanya dihadapan Tuhan, tapi apa yang benar menurut Tuhan pastilah baik dalam pandangan manusia yang terbatas sekalipun, walau kebaikannya tidak dapat dinikmati seketika itu juga. Jadi carilah yang baik menurut Allah terlebih dahulu, ketimbang yang baik menurut pengertian kita, manusia yang terbatas ini. Kini, apa yang dapat ditabur oleh BPK Penabur? Kesombongankah? Kepercayaan diri yang terlalu tinggi karena pendidikan yang dianggap sudah baik? Kebohongankah? Atau apa? Tentu bukan itu semua...tapi apa yang dikehendaki Allah untuk kita lakukan, ketulusan, kejujuran, kebaikkan hati, kerendahan hati, kesetiaan... dan lain sebagainya. Tantangannya kini adalah KOMITMEN untuk tetap menjadi berkat, bukan batu sandungan, menjadi garan dan terang dan bukan menjadi kutuk.


Dan apakah yang dapat kita lakukan selaku jemaat? Dukunglah BPK Penabur dalam doa, agar sungguh keberadaan BPK Penabur menjadi berkat yang tidak terkira bukan hanya bagi jemaat GKI, masyarakat Kristen, tapi lebih luas lagi, yaitu bersatu padu mencerdaskan kehidupan bangsa!! Bukankah dengan begitu BPK penabur menjadi berkat yang tak terkira bagi bangsa indonesia?

Diperbaharui Untuk Mempertemukan Orang Lain Dengan Kuasa Tuhan.

Kis 16:9-15
Wahyu 21: 10,22-22:5
Yohanes 5: 1-9

Tujuan: Anggota jemaat dimampukan untuk mengalami perubahan hidup sehingga mampu mempertemukan orang lain dengan kuasa Tuhan.

Apa yang anda bayangkan tentang kuasa Tuhan? Adakah dari saudara yang pernah merasakan kuasa Tuhan? Seperti apakah kuasa Tuhan itu? Mungkin anda akan menjawab kuasa Tuhan itu besar, tidak dapat terduga, tidak dapat didefinisikan, bahkan irrasional (padahal seharusnya suprarasional=melampaui akal pikiran manusia). Atau anda akan berkata bahwa kuasa Tuhan akan mendatangkan damai sejahtera, sukacita, kekuatan, penghiburan dan lain sebagainya. Jawaban2 itu saya katakan sebagai jawaban klise. Anda dapat menjawab itu semua berdasarkan apa yang ditulis dan dinyatakan oleh para penulis Alkitab yang telah mengalaminya.

Namun kini, saya bertanya kepada anda sebagai pribadi, apakah anda sungguh2 mengalaminya? mengalami kuasa Tuhan itu sendiri, hingga anda dapat memahami dan mengalami benar apa yang dikatakan oleh para penulis Alkitab itu? Apakah anda sungguh dapat mengatakan bahwa apa yang disaksikan oleh Alkitab adalah ya dan amin, dan bukan sekedar mengekor karena tidak tahu harus berkata apa, karena kita sendiri belum merasakan kuasa Allah? Atau tidak sadar bahwa setiap hari dalam hidup anda, anda sesungguhnya merasakan kuasa Allah?

Ada seorang remaja berkata: “Kak tahukah kakak apa yang akan kita rasakan ketika mengalami kuasa Tuhan? Malu ka! Karena Dia saja yang memiliki kuasa begitu besar untuk mengubah diri saya tidak sombong, dan tidak pernah memegahkan diriNya, tapi saya yang tidak ada apa2nya, yang begitu dikasihiNya, sudah merasa menjadi segalanya.” Ada lagi yang mengatakan: “Sedih dan terharu, karena Dia sesungguhnya punya kuasa untuk melenyapkan saya ketika saya terus menerus memilih untuk berdosa dan bukan taat, tapi Ia tetap memberikan saya kesempatan, bahkan dengan kuasaNya Ia menolong saya menjadi pribadi yang lebih baik.”

Perjumpaan Saulus dengan Tuhan untuk pertama kalinya, mungkin tidak membawa sukacita, namun ketakutan. Bagaimana tidak, ia yang tadinya penuh kuasa untuk mengejar dan membunuh orang Kristen, menjadi tak berdaya karena kebutaannya. Tapi Bagaimana dengan orang lumpuh di tepi kolam Bethesda? Tidak ada reaksi signifikan yang dialami olehnya, ia cenderung hanya mengikuti perintah, bahkan ia tidak sadar siapa yang telah menyembuhkannya. (Yoh 5:8-13)

Apa yang dapat kita pelajari dari 2 pengalaman di atas? Perjumpaan dengan Tuhan tidak semata-mata mendatangkan damai, sukacita, kebahagiaan, penghiburan namun juga rasa malu, terharu, sedih, bahkan tidak sadar bahwa sesungguhnya kuasa Tuhan sudah dialami. Tuhan selalu punya 1001 cara berbeda untuk menunjukkan kuasaNya kepada manusia, dan perasaan yang ditimbulkan juga berbeda. Kini, apa yang menjadi persamaannya? perjumpaan dengan kuasa Tuhan membawa kita kepada perubahan hidup dan pertobatan yang sejati artinya PERUBAHAN! Saulus berubah, Orang lumpuh itu juga berubah (paling tidak ia dapat berjalan, walau tidak pernah diceritakan bagaimana perubahan hidupnya melawan dosa. Ay.14)

Menurut anda apakah Dia akan sembarangan mencari orang yang akan mempertemukan kuasaNya dengan orang lain ? Saya rasa tidak, Ia ingin setiap kita mengalami KuasaNya terlebih dahulu. Karena hanya kuasaNya yang memampukan seseorang mengalami perubahan. “hidupku, bukannya aku lagi, tapi Kristus!” itulah perkataan Paulus yang begitu terkenal. Tapi bagaimana ia dapat berkata demikian hanya karena ia telah ‘ditangkap’ oleh Kuasa Kristus (Filipi 3:12).
Jadi....sesungguhnya kita tidak akan pernah dapat mempertemukan orang lain dengan kuasa Tuhan, tanpa kita mengalami kuasaNya yang mengubahkan tersebut terlebih dahulu. Atau kita akan seperti seorang anak yang berkata betapa enaknya makan es krim coklat padahal ia tidak pernah merasakan bagaimana sesungguhnya enaknya makan es krim coklat. Ia hanya mengatakan hal tersebut supaya teman2nya tahu bahwa ia telah mencoba es krim coklat. Hasilnya....Ia hanya mengatakan sesuatu berdasarkan pengetahuannya tentang apa itu es krim coklat dan bukan berdasarkan perasaan yang ia peroleh ketika ia mengalami nikmatnya es krim coklat. Orang lain akan melihat bedanya!! Apa yang membuat berbeda? Karena berbeda berkata2 dengan kekuatan dan pengetahuan kita sendiri dengan berkata2 dengan kekuatan dan hikmat Allah, maksudnya? KUASA ALLAH ITU SENDIRILAH YANG AKAN MEMANCAR DARI HIDUP KITA ketika kita berjumpa setiap harinya dengan orang2 di sekitar kita.

Sekarang.....bagaimana caranya mengalami kuasa Allah yang memperbaharui hidup kita itu, hingga kita sungguh menjadi baru dan dimampukan untuk mempertemukan kuasa tersebut kepada orang lain?
1. Pembaharuan hidup yang sungguh, dapat dirasakan oleh mereka yang mau belajar untuk TAAT. Dapatkah orang lumpuh di tepi kolam Bethesda kembali berjalan tanpa mau bangun, mengangkat tilam dan mulai berjalan? TIDAK saudara2. kesembuhan itu tidak akan pernah terjadi! Taat bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, sekalipun kita sudah menerima Yesus dalma hidup kita. Karena ketaatan tidak hanya membutuhkan kemauan, ketekunan, tapi juga iman yang tidak sekedar percaya. Bila anda mengalami apa yang dialami oleh orang lumpuh itu, dan ada seorang yang asing di hadapan anda mengangatakan hal yang sama yang Yesus katakan kepada orang lumpuh tersebut, maukan anda mengikutinya? Alih2 anda akan mengatakan: “kamu gila ya!! Atau, kamu tuh bukan Tuhan tau! Tau gak saya ini udah puluhan tahun lumpuh sarafnya sudah putus, mana mungkin bisa berjalan lagi, kamu mau mengejek saya yaa!!” Taat kepada Tuhan itu berbeda dengan ketaatan kita kepada sesama manusia. Terhadap manusia kita dapat berkata: siapa kamu, atau kita akan mengolah semua perintah dengan rasio (baik atau tidak menurut saya, mudah atau sulit untuk saya lakukan) kita terlebih dahulu. Tapi tidak begitu dengan ketaatan kepada Tuhan. Kita tidak akan pernah bisa berkata: Siapa anda, mau perintah2 saya?! Atau menggunakan rasio kita terlebih dahulu. Karena Allah tidak selalu dapat dimengerti dengan rasio, walau tetap kita harus mengujinya menggunakan rasio dan hikmat Allah secara terus menerus.
2. Mau dan siap untuk BANGUN, MENGANGKAT TILAM DAN BERJALAN. Apa yang akan terjadi bila anda hanya duduk atau tidur selama berpuluh tahun karena sakit penyakit, masih adakah kemauan untuk bangun hingga mengangkat tilam? Pun masih ada kemauan, kita tahu bahwa itu tidak mungkin menurut rasio manusia. Puluhan tahun tidak menggunakan kaki, menurut logika, menyebabkan kaki tidak dapat digerakkan sama sekali karena otot2nya juga sudah tidak mampu berfungsi dengan baik, oleh karena itu dibutuhkan terapi yang lama dan kemauan untuk melatih kembali semua otot yang membuat kita dapat berjalan kembali. Begitu juga dengan kita yang sudah puluhan tahun hidup dalam keberdosaan. Dosa membuat kita tidak mampu berjalan dalam kebenaran, dan karena lamanya kita hidup dalam dosa, kita sudah ‘terbiasa’ untuk hidup seperti itu, maka butuh kemauan dan kesiapan untuk meninggalkan keberdosaan kita, dan memulai ‘terapi’ hidup dalam kebenaran. Bila orang sakit di pinggir kolam Bethesda itu tidak bertanya, menyanggah ataupun menolak sedikitpun, hanya bangun, mengangkat tilamnya dan berjalan, bagaimana dengan kita?Apakah kita mau dan siap mengubah kebiasaan kita hingga memiliki kebiasaan yang baru? Ingat di Rumah Bapa tidak akan masuk ke dalamnya sesuatu yang najis, atau orang yang melakukan kekejian atau dusta, tetapi hanya mereka yang namanya tertulis di dalam kitab kehidupan Anak Domba itu. (Why 21:27)
3. (Why 22:5) Tanpa HIDUP DITERANGI TERANG KASIH ALLAH, maka ketaatan dan kemauan untuk bangun, mengangkat tilam dan berjalan menjadi suatu beban yang terlampau berat yang tidak mungkin dilakukan. Gerutu, marah, kesal, dan bukan syukur, sukacita, damai, menjadi bagian yang tak terelakan setiap hari. Karena perubahan dianggap sesuatu keharusan bukan kerinduan. Paksaan dan bukan keinginan. Oleh karena itu perubahan apapun yang kita alami dalam hidup haruslah kita dasarkan pada kasih kita kepada Tuhan

Bersama2 Memberitakan Keselamatan dan Membangun Kehidupan

Bersama2 Memberitakan Keselamatan dan Membangun Kehidupan
Kis 16:16-34
Maz 97
Why 22:12-14,16-17,20-21
Yoh 17:20-26

Tahukah saudara bahwa Tuhan memanggil saudara dan saya untuk memberitakan keselamatan bagi seluruh dunia? Pasti tahu yaaa.... dari Matius 28 saja kita sudah dapat mengetahui bahwa Tuhan ingin kita menyebarkan berita keselamatan itu hingga ke seluruh penjuru dunia. Apakah menurut saudara, kita dapat memberitakan keselamatan bila kita tidak tahu bagaimana sesungguhnya rasanya diselamatkan? Bila tidak, lalu bagaimana rasanya keselamatan itu? Bagaimana rasanya telah diselamatkan? Perubahan apa yang terjadi dalam hidup saudara, yang dapat membuktikan bahwa anda telah diselamatkan di hadapan orang lain? Apa jaminannya bahwa anda sudah benar2 diselamatkan? Bila kita tidak dapat menjawabnya, jangan-jangan saudara dan saya belum diselamatkan.

Namun kini pertanyaanya, keselamatan macam apa yang hendak saudara beritakan kepada dunia?Apakah keselamatan di akherat, dimana kita akan hidup selamanya di Sorga yang tidak mengenal ratap tangis, gertak gigi, kegelapan? Keselamatan dari hukuman dosa? Keselamatan di dunia berupa hidup berkecukupan, sejahtera, damai atau apa?


Keselamatan tidak hanya dapat diberitakan, namun terutama dan terlebih dahulu harus dialami. Karena keselamatan bukan hanya sekedar pengakuan atau syahadat yang diucapkan, namun suatu pengalaman iman yang harus dirasakan, dihayati, dan dibuktikan. Bila tidak, keselamatan hanyalah sebuah formalitas dari keberadaan agama. Dan bila keselamatan tidak menjadi sebuah pengalaman yang menghidupkan, kita tidak akan pernah mengerti apa itu hidup, untuk apa hidup dan mau dibawa kemana hidup ini. Maka membangun kehidupan adalah sesuatu yang mustahil kita lakukan. Apa yang hendak kita bangun, kehidupan macam apa bila kita tidak mengerti apa sesungguhnya hidup.

Memberitakan keselamatan tidak dapat dilepaskan dari membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri kita dan orang lain di sekitar kita. Karena kehidupan adalah buah keselamatan. Nah, tentu hal yang perlu kita cari tahu adalah apa keselamatan menurut Yesus sendiri, Sang Pembawa Keselamatan.

Mengalami Keselamatan adalah:
1. Hidup dalam dan bersama Allah (Yoh 17:26) Hidup dalam Allah tidak semata-mata rajin beribadah ke gereja, rajin melayani, menjadi pengurus komisi, melayani lewat kepanitiaan, musik dan macam pelayanan yang ada. Hidup dalam Allah berarti hidup dalam kasih. Namun hidup dalam kasih juga lebih dari sekedar hidup dalam kerukunan, kedamaian, sukacita antara satu dengan yang lain, atau hidup dengan senantiasa memberi kepada orang lain. Lalu apa yang disebut dengan hidup dalam kasih?
• Hidup dalam kasih adalah hidup dalam kesabaran;
• dalam pemberian yang bijak;
• ketulusan dan bukan kecemburuan;
• kerendahan hati dan bukan kesombongan bahwa kita sudah melakukan, memberi ini dan itu;
• dalam kesopanan;
• dengan tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri;
• dalam pengampunan bukan dendam; dalam keadilan ilahi bukan keadilan duniawi.

Sudahkah kita hidup demikian? Paulus sudah mengalami keselamatan itu. Dan keselamatan yang ia beritakan kepada jemaat mula2 menjadi kesalamatan yang dinyatakan tidak hanya lewat pengajarannya yang luar biasa, namun terutama pada perubahan hidupnya. Allah-lah ia menjadi manusia yang sabar menanggung penderitaan, ketika ia disesah karena mengusir roh tenung yang mengikat seorang perempuan dan membuat tuan si perempuan rugi besar. Allahlah yang membuatnya tetap dapat berdoa,menaikan puji2an bagi Allah walau dengan tangan dan kaki yang terpasung dalam penjara. Allahlah yang membuat Paulus tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri dengan cara melarikan diri, ketika gemba bumi besar menggoyahkan sendi2 penjara, membuka pintu2 dan melepas belenggu2 mereka. Allahlah yang membuatnya mampu mengampui bahkan mengabarkan keselamatan bagi kepala penjara, dan bukan membiarkannya bunuh diri. Allahlah yang memampukan Paulus untuk tetap rendah hati dan mengaggungkan Allah kepada Sang Kepala Penjara dengan mengatakan “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu” dan bukan mencari celah bagi keselamatan dirinya sendiri.

2. Hidup menggunakan kesempatan yang Allah beri untuk menunjukkan kasih Allah, bukan menjadi ‘allah’ lain bagi orang lain (Yoh 17:23)Manusia yang sudah mengalami keselamatan akan menggunakan kesempatan apapun itu, baik sebagai pendeta, penatua, pelayan, orang tua, pengusaha, pegawai, pelajar untuk menjadikan hidup orang lain menjadi lebih hidup, bukan mengambil kesempatan hidup, menghambat jalan hidup, apalagi mematikan semangat hidup orang lain. Berapa banyak dari manusia yang lebih suka menjadi ‘allah’ bagi orang lain, menguasai orang lain baik dengan kuasa, materi, ilmu pengetahuan, dan pengalaman; Merasa paling tahu hingga yang lain menjadi paling tidak tahu apa2 dan menjadi pihak yang selalu diremehkan; Merasa sudah mahir, pintar, profesional hingga yang lain tidak diberikan kesempatan untuk berbuat apa2; Merasa punya kuasa dan uang hingga yang lain dapat diperintah, digunakan, diperdayakan (bukan diberdayakan), dibinasakan; Merasa paling pantas untuk menjadi pelayan, hingga dengan mudah menghakimi, menyalahkan, berkata kasar, tidak pantas dan tidak sopan kepada pelayan yang lain. Hasilnya...kita akan menjadi manusia yang arogan, yang tidak mampu membangun kehidupan, malah menjadi neraka bagi orang lain yang mengenal kita.

3. Memiliki kesadaran untuk hidup bersama (Yoh 17:21) bukan hanya karena bersama lebih baik dari sendiri, atau karena bersama kita bisa, tapi karena adanya kesadaran bahwa keselamatan yang Tuhan berikan bagi kita adalah keselamatan yang universal, keselamatan yang dianugerahkan bagi siapapun yang bersedia menerima dan memeliharanya, tanpa batas-batas berupa perbedaan dan keanekaragaman, apapun bentuknya itu. Keselamatan adalah milik dunia, milik saya, saudara, pemulung yang biasa menghampiri rumah saudara dan saya, penjual sayur yang biasa menawarkan bahan pokok dengan harga miring, Pak Satpam yang begitu rajinnya mengetok tiang listrik depan rumah anda setiap jamnya dari pukul 1 hingga pukul 5, saudara yang duduk di sebelah anda di kursi angkutan umum atau yang berdiri di depan anda ketika mengantri tiket bioskop.

Allah Tritunggal Mengasihi Kita

Allah Tritunggal Mengasihi Kita

Amsal 8:1-4, 22-31
Maz 8
Roma 5: 1-5
Yohanes 16: 12-15

Dapatkah saudara menjelaskan apa yang dimaksud Allah Tritunggal? Bagi kebanyakan orang Kristen, Doktrin Allah Tritunggal adalah doktrin yang cukup membingungkan untuk dijelaskan. Bahkan banyak dari kita, yang telah sekian lama mengakui Allah kita sebagai Allah Tritunggal, juga tidak dapat menjelaskan apa dan bagaimana Allah Tritunggal itu. Ya, memang kita tidak dapat dengan mudah menjelaskan bagaimana ALLAH Tritunggal itu, termasuk tidak dapat mencari padanan yang dapat menjelaskan secara sederhana, dengan makna yang tepat. Tapi bukan karena kita memiliki doktrin yang tidak jelas, atau Allah kita merupakan Allah yang tidak sempurna loh! Lalu, bagaimana menyikapi berbagai macam pendapat yang membuat kita semakin bingung bahkan memojokkan kita sebagai umat Allah dan Allah yang kita sembah?

Tentunya, ketika kita mengakui Allah yang tritunggal, kita harus paham dengan benar mengapa Allah kita mendapat sebutan Allah Tritunggal. Tapi bukan berarti ketika kita pulang dari gereja ini, saudara merasa sudah mengenal dengan benar Allah yang kita sembah. Mengapa? Karena kita hanya mampu memahami Allah yang tak terbatas itu dengan keterbatasan kita memahami tindakan Allah sebagai manusia. Kita hanya mampu memahami karya Allah sebatas apa yang mampu kita pahami dengan cara pikir, pandang, pemahaman kita tentang siapa Allah, dan apa yang mungkin Ia lakukan dan beri bagi kita.

Tapi, jangan pesimis dulu. Tidak terlalu sulit kok bagi kita untuk memahami Allah walau pemahaman kita tidak akan penah menjadi sempurna. Hal pertama yang perlu kita sadari adalah pengenalan kita terhadap Allah bukan pengenalan yang semata-mata berasal dari diri kita (karena kita pandai, karena kita banyak membaca, giat berdoa dan lain sebagainya), namun karena Allah berkenan menyatakan diriNya kepada kita. Ia menjadi Allah yang senantiasa ingin mendekatkan diri, menunjukkan kasih setiaNya pada kita, agar setiap kita yang mengenalNya dapat hidup dalam perdamaian denganNya. Ia bukan Allah yang mencari popularitas, bukan juga menjadi Allah yang mencari sensasi. Ia hanya ingin kita tahu, bahwa Ia mengasihi kita lebih dari apapun dan kita begitu berharga di mataNya.

Kini, Apa buktinya? Sebenarnya kita tidak perlu bertanya lagi apa bukti Allah mengasihi kita? Karena Allah bukan kita yang lebih suka mengumbar kata-kata cinta tanpa mampu membuktikannya. Lebih dari itu Ia selalu memberikan yang terbaik kepada kita lebih dari apa yang dunia beri bagi kita, bukan? Namun karena kini kita hendak mengingat Allah kita yang adalah Tritunggal, mari kita coba memahami apa saja yang telah Ia perbuat bagi kita sebagai Allah yang Tritunggal:
1. Apa yang kita bayangkan tentang Allah Bapa? Adakah kita membayangkan Dia sebagai sosok yang besar, berbaju putih, bermahkota emas, berkumis dan berjanggut tebal layaknya Santa Claus, atau mungkin memiliki sorot mata tajam, dan senyuman hangat? Beberapa pandangan Kristen mula2 yang mengatakan bahwa Allah perjanjian Lama adalah Allah yang kejam dan penuh amarah. Ada juga yang mengatakan Allah yang kejam, dan lain sebagainya. Benarkah pendapat mereka itu? Amsal 8: 1-4, 22-31 menceritakan bagaimana Allah perjanjian Lama atau yang lebih kita kenal dan sapa sebagai Allah Bapa, ternyata bukan Allah yang kejam seperti yang banyak disimpulkan dan dinilai oleh beberapa kalangan. Ia adalah Allah yang menjadikan kita sebagai anak kesayangan, yang setiap hari dapat bermain denganNya, bahkan menjadi sumber kesenangan (baca: sukacita). Dapatkah kita membayangkan bahwa kita adalah sumber sukacita Tuhan? Ketika Tuhan melihat kita yang lucu, sedang tersenyum, atau belajar berjalan ia tersenyum sambil merentangkan kedua tanganNya? Ia adalah Allah yang menjadi Bapa kita, lebih dari bapa yang ada di dunia. Sebagai bapa sorgawi, Ia tidak hanya punya kuasa atas diri kita dan saya, baik itu kuasa untuk tetap membuat saya dan kita hidup ataupun pulang ke rumahNya, ia juga mendidik anak-anakNya, menghajarnya bila mereka salah, tahu dengan pasti apa yang mereka butuhkan dan bukan sekedar inginkan, dan yang terutama....berbeda dengan bapa atau ibu di bumi, Ia tahu dengan pasti apa yang terbaik bagi anak-anakNya.
2. Bila tadi saya mengajak kita membayangkan seperti apakah sosok Bapa, maka kini saya mengajak kita untuk membayangkan sosok Allah Yesus. Siapakah Yesus buat kita? Adakah kita menyebutnya Tuhan, Allah, nabi, tabib, sahabat??? Adakah kita membayangkan Yesus sebagai pria kecil hitam yang kekar, dengan rambut panjang dikuncir, kemana2 membawa perkakas kayu atau? Bagaimana sesungguhnya fisik Yesus mungkin tak perlu kita bahas panjang dan lebar ya... karena bagaimana tampak Yesus sesungguhNya tidak mempengaruhi dan merubah kasih dan karyaNya bagi manusia. Apa karyaNya? Untuk dapat sungguh2 merasakan karya Tuhan, pertanyaan ini mungkin dapat membantu kita, “ Bila kita adalah seorang pembunuh, yang setiap hari kerjaannya membunuh paling tidak 3 makhluk hidup, dan kita melakukannya sepanjang hidup kita, dan diakhir hidup kita Tuhan mengatakan kita tidak bersalah, bagaimana perasaan kita ?” “ Oh maaf itu tidak relevan bagi saya, saya tidak pernah membunuh!” Yakinkanlah diri kita bahwa sesungguhnya setiap hari kita membunuh, memang kita tidak membunuh dengan menggunakan pisau dapur yang ditusukkan di dada suami, isteri, anak, dan orang tua kita, tapi sayangnya lidah tidak bertulang dan kata-kata pedas yang sering kali kita katakan terhadap mereka itulah yang perlahan tapi pasti membunuh mereka. Membunuh kualitas mereka, sukacita, kedamaian, hingga menjadikan mereka makhluk yang tidak lagi dapat mengasihi dengan tulus, tidak berpengharapan dan tidak beriman. Yesus membenarkan kita, Yesus memberikan pengharapan dan perubahan hidup bagi kita, yang tidak dapat kita lakukan sendiri hanya dengan kekuatan dan kepandaian kita. Kita yang tidak berhak menerima kasih karunia, diberiNya kasih karunia berlimpah ruah.
3. Bagaimana dengan Allah Roh Kudus? Adakah Ia juga menjadi perwujudan kasih setia Allah kepada kita, manusia? Ya!! Dialah yang memampukan kita menjadi benar dan membuktikan kepada dunia bahwa kita adalah anak-anak Allah yang sudah dibenarkan, Krena pembenaran yang Ia berikan bukan ketika kita berada di alam maut atau di dalam penghakiman, namun kini, sekarang , ketika kita semua mengaku Dia sebagai Allah, Tuhan dan manusia.Roh kudus tidak bekerja nanti ketika kita sudah di alam kubur atau di hadapan taktha Allah untuk mempertangungjawabkan kehidupan kita bukan, namun Ia bekerja sekarang, disini, di hati kita. Jadi kita tidak hanya dibenarkan melalui karya Yesus namun juga dimampukan berlaku, berkata, benar menurut Allah.

Kini, apa lagi yang kurang? Ia menjadi Allah yang sempurna bagi setiap kita, tidak ada kekurangan dalam diriNya. Dalam ke-tritunggalanNya Ia menjadi Allah yang sempurna dalam karya penyelamatanNya, bagi dunia, lebih dari itu Ialah yang sanggup menyempurnakan hidup kita yang sering kali kita nilai tidak sempurna, tidak ideal. Bila karyaNya bagi kita adalah sempurna, bagaimana ia harus berwujud, berperan dan menyatakan diri bukanlah sesuatu yang harus kita perdebatkan. Karena Ia adalah Allah yang dapat berperan, berwujud, menyatakan diri sesuai dengan kehendakNya, dan tidak selalu dapat kita pahami dengan segala keterbatasan kita. Alkitab menuntun kita pada suatu keutuhan karya, bukan kepada bentuk dan wujud semata-mata. Jadi marilah kita pahami karyanya yang utuh sejak masa lampau, kini, hingga nanti, Ialah Alfa dan Omega!!

Diambang Batas

1 Raja2 17:17-24
Maz 30
Galatia 1: 11-24
Lukas 7: 11-17

Perasaan marah, sedih, benci, kesal, pupus harapan dan tidak tahu harus berbuat apa lagi menjadi hal yang biasa dialami dan dirasakan oleh manusia yang dilanda pergumulan, masalah, dan kepahitan hidup. Lumrahkah itu? Tentu...bukan manusia bila kita tidak merasa marah ketika orang yang kita cintai harus pergi meninggalkan kita, karena menjadi korban tabrak lari. Bukan manusia bila kita tidak merasa sedih bila anak yang kita banggakan tidak mampu bersekolah lagi karena keadaan ekonomi keluarga yang sedang morat marit. Bukan manusia bila kita tidak merasa benci kepada dokter yang seharusnya menolong alih2 membunuh sanak keluarga kita, karena perbuatan malprakteknya, atau ketika seorang guru yang seharusnya mendidik dan menjadi teladan malah menodai putra-putri kita. Tak usahlah kita mengalaminya terlebih dahulu untuk membayangkan bagaimana rasanya. Mendengar berita semacam itu di televisi saja sudah dapat membuat kita marah, kesal, dan sedih. Kejadian2 yang saya ungkapkan adalah kejadian2 yang biasa terjadi dalam hidup manusia, termasuk kejadian yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan saya dan saudara, walau kita mengatakan lebih suka mengatakan “amit2 deh, kejadian sama saya”

Hidup tidak akan pernah berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan, hidup tidak pernah menjadi ideal seperti apa yang kita bayangkan tetang suatu yang ideal dan tidak. Ada kalanya, bahkan banyak kalanya kita merasa di ambang batas kekuatan dan kesabaran. “Manusia kan terbatas, semuanya ada batasnya, kesabaran saya ada batasnya begitu juga dengan kekuatan saya.” Menjadi pembelaan yang senantiasa kita katakan kepada Tuhan ketika kita lebih memilih untuk mulai marah, mengeluh, menyalahkan keadaan dan lain sebagainya. Tak mampu untuk maju namun tak mungkin juga untuk mundur, hasilnya kita akan menjadi hidup enggan mati tak mau, pun kita memutuskan untuk tetap melanjutkan hidup, maka kita akan menjadi manusia yang hidup dalam dendam dan keputusasaan.

Lalu bagaimana kita dapat melanjutkan hidup yang berada dalam ambang batas? Di ujung tanduk? Setiap manusia pasti pernah mengalaminya, tua muda, miskin kaya, siapapun dia. Begitu juga dengan para tokoh Alkitab. Mereka juga menjadi makhluk yang rentan akan kepedihan hidup, tapi mengapa kisah-kisah mereka menjadi inspirasi selama ribuan tahun? Bukan karena betapa hebatnya pergumulan hidup mereka, namun karena betapa mereka telah menjadi teladan yang baik dalam menghadapi masalah terberat sekalipun. Apa teladan mereka?

1. Banyak dari saudara masih mengingat kisah tentang Janda di Sarfat. Ia adalah seorang perempuan miskin yang hidup bersama anak tunggalnya. Ia bertahan hidup hanya dengan sedikit tepung dan minyak untuk membuat roti hingga Elia datang sebagai hamba Allah membawa berkat Tuhan yang tak henti kepada keluarganya. Namun disuatu waktu Tuhan mengambil anaknya yang satu-satunya itu. Apa yang mungkin terjadi padanya? Hancur hatinya sebagai seorang ibu, menjadi sebatang kara tanpa orang-orang yang ia kasihi. Ia merasa semua yang ia hadapi termasuk kematian anaknya menjadi suatu hukuman bahkan kutukkan baginya, yang menyadarkan ia akan kesalahan2nya. Lalu bagaimna dengan Elia? Adakah Ia marah kepada Tuhan, karena Tuhanlah yang mengutusnya untuk tinggal bersama dengan janda miskin tersebut ketika ia berada dalam pelariannya dari Raja Ahab dan Izebel isterinya yang hendak membunuhnya? Adakah ia marah karena kini ia harus berhadapan dengan janda yang berduka, karena kehilangan anaknya. Apa yang mungkin dirasakan Elia? Mungkin ia akan berkata: “Aduh Tuhaaannn, Engkau ini mau apa sihh...aku membelamu, dan aku hampir mati karenanya, kini aku seakan2 membawa musibah dan kutuk bagi keluarga yang Kau utus untuk memelihara aku."
Dalam kehidupan kita sehari2, bagi sebagian kita, melihat kemalangan, kesusahan, hingga penderitaan, datang sebagai sebuah hukuman dan kutukan yang menyengsarakan, sedangkan sebagian yang lain melihatnya sebagai teguran hingga ujian yang dapat mendewasakan dan menumbuhkan iman. Kini, respon mana yang kita pilih? Elia memilih untuk meresponi hal2 buruk yang terjadi dengan kemarahan dan kekecewaan terhadap Tuhan yang telah mengutusnya, alih2 Ia mencari Tuhan dan memohon kepadaNYa untuk mengembalikan nyawa anak sang Janda. Entah berapa lama ia berdoa dan berseru kepada Tuhan. Alkitab hanya mencatat bahwa ia berseru kepada Tuhan sebanyak 3 kali. Memang tiga kali bukanlah jumlah yang banyak, namun itu 3 x menyatakan kegigihan Elia dalam ambang batasnya (baca: ketakutan terhadap ahab dan isterinya, kepedihan melihat siapa yang menolongnya bukanlah bangsanya tapi mereka yang ditolak, kesedihan melihat mereka yang menerimanya dilanda kesulitan, kegeraman terhadap bangsanya yang bebal). Ia tidak mudah menyerah dan memilih untuk terus berharap kepada Tuhan walau mungkin Tuhan mengatakan TIDAK. Lalu apa yang terjadi? Bukan hanya kebangkitan sang anak yang terjadi, namun perjumpaan Sang Janda dengan Allah yang luar biasa itu. Kepasrahan dan pengabdiannya kepada Tuhan, ketika hidupnya berada di ambang batas, menjadi teladan yang tidak hanya memberikan jalan keluar, tapi juga membawa keselamatan yaitu kehidupan yang sesungguhnya bagi keluarga janda itu.
2. Apa yang akan terjadi pada seseorang yang gagah, dihormati, ditakuti, berkuasa, pandai, ketika ia kehilangan segalanya sesuatunya itu? Adakah dari anda yang akan menjawab sakit2an lalu mati? YA, bagi manusia itu adalah hal yang paling mungkin terjadi. Namun tidak bagi manusia yang mengandalkan Allah. Dimanakan batas ambang Paulus? Yaitu ketika ia kehilangan semuanya termasuk kuasanya. Dulu ketika ia masih menjadi musuh Allah ia dapat melakukan apapun yang ia suka, menggunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk membawa banyak orang ke penjara. Namun kini ketika ia memilih untuk berjalan dalam dan bersama Tuhan, ia kehilangan semuanya. Ia yang menangkap kini ditangkap, ia yang dahulu memukul kini dipukul, ia yang dahulu mengikat kini diikat...siapa yang tahan? Bukankah bagi manusia itu semua adalah hal yang tidak mudah untuk dilalui. Terlebih lagi Paulus mengatakan bahwa ia pergi ke Damsyik tempat dimana ia banyak membunuh dan mengejar orang Kristen. Orang-orang tentu tahu apa tujuannya ketika terakhir kali ia datang ke kota itu, maka kembali ke Damsyik dilakukannya dengan penuh keberanian. Bagaimana dengan Yerusalem? Disanalah orang orang Yahudi yang dulu adalah kawan dan sekarang menjadi lawan bagi Paulus. Meraka tidak suka akan perubahan yang terjadi dalam diri Paulus. Ia juga kembali ke kampung halamannya, tempat ia dibesarkan, Siria dan kilikia. Tentu orang2 di sana tahu dengan pasti orang seperti apa Paulus itu. Menghadapi masa lalu adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan oleh manusia, namun Paulus berani menghadapi masa lalunya itu.
Lalu bagaimana Paulus menghadapi ambang batasnya? Kesadaran bahwa hidupnya ada dalam rancangan kasih karunia Allah dan panggilan Allah. (Ay 14) sukacita karena Allah berkenan menyatakan diri kepadanya. Sejak Paulus mengalami ‘pencerahan’ itu, tidak sekalipun ia meminta pertimbangan manusia. Surat Galatia menjadi jawaban Paulus akan segala tuduhan yang ditujukkan kepadanya, yang menyerangnya secara pribadi, dengan tujuan melemahkan pengaruhnya. Keberaniannya menghadapi masa lalu, datang kepada mereka yang dulu ia kejar dan benci menjadi teladan yang tidak hanya membawa sukacita, namun juga kekaguman yang besar terhadap Tuhan yang dapat mengubah seseorang dengan begitu rupa.

Kekristenan tidak menghilangkan ketionghoaan...

Kekristenan tidak menghilangkan ketionghoaan...
Memang kita tidak pernah dapat memilih untuk lahir sebagai apa, keturunan siapa, suku bangsa apa, tinggal di negara mana, tapi kalaupun saya diperkenankan untuk memilih, saya akan tetap memilih untuk menjadi Suku Tiong Hoa. Tentunya bukan hanya karena Suku Tiong Hoa terkenal dengan ilmu pengetahuan dan filsafatnya (tanpa mendiskreditkan suku lain yaa...) tapi juga karena menjadi Tiong Hoa adalah pilihan terbaik bagi saya dari Tuhan. Ini bukan soal sok teologis, namun karena saya merasakan perjalanan panjang saya menjadi suku Tiong Hoa yang minoritas dan senantiasa didiskriminasikan membawa saya pada kecintaan yang tepat terhadap suku ini, dan penghargaan terhadap suku lain, termasuk perjalanan saya sebagai seorang anak dari keluarga yang memiliki perbedaan keyakinan.
Kong Hu Chu telah membekali saya begitu banyak hal positif, jauh hari sebelum saya menjadi seorang Kristen, pun ajarannya tidak bertentangan dengan kekristenan, malah...dapat dikatakan selaras. Oleh karena itu saya tidak mengalami perubahan paradigma yang signifikan. Hanya saja, bagi saya persoalan menjadi seorang Kristen bukan soal menjalankan ajaran saja, namun bagaimana beriman kepada Kristus yang mati dan bangkit. Ini hal yang sulit sekaligus mudah diterima oleh pemeluk agama Budha dan Kong Hu Chu. Mengapa? Karena kami, pemeluk Budha dan Kong Hu Chu meyakini bahwa kelahiran kembali setelah kematiaan adalah hal yang memang harus dijalani oleh setiap manusia, namun bagaimana Tuhan yang sudah sempurna (yang sudah dicerahkan = mengalami enlightment) lahir dalam dunia, bahkan mati. Bagi kami, kematian hanyalah urusan manusia, dan kelahiran kembali juga merupakan akibat dari karma di kehidupan yang lalu, dan kami akan selalu berputar alam lingkaran kehidupan, hingga kami mengalami pencerahan seperti yang dialami oleh Budha Gautama.
Bagaimana saya kini? Bila Firman Tuhan mengatakan bahwa orang yang dipanggilNya akan dilengkapiNya, maka itu yang saya rasakan. Perjumpaan saya secara pribadi dengan Tuhanlah yang membuat saya perlahan tapi pasti semakin dapat memahami siapa saya, mengapa saya ada, dan siapa Dia yang menciptakan dan telah memanggil saya. Mengapa harus perjumpaat secara pribadi? Karena Kekristenan bukan persoalan iman dan membaca Alkitab saja, namun soal membangun relasi dengan yang empunya hidup. Tanpa relasi yang kuat denganNya, yang transenden sekaligus imanen, kita tidak akan pernah mengerti dengan benar apa yang telah diperbuatNya bagi kita dan bagi dunia. Kita hanya menjalankan sesuatu yang diturunkan dari keluarga...hasilnya iman kita menjadi iman turunan, jiplakkan, dan bukan iman yang belajar melalui pengalaman bersama, bertemu dan hidup bersama Dia.
Adakah perbedaan saya kini? Tentu!! Dalam hal menjalani hidup, ketika saya masih beragama Budha, saya berpikir...yah nanti juga kan lahir lagi, paling banter lebih baik dikit deh dari kehidupan yang lalu, supaya di kehidupan yang akan datang bisa lahir sebagai kasta yang lebih tinggi. Kalo sekarang..sebagai seorang Kristen...mana bisa berpikir begitu... bisa2 nyesel kekal deh. Ya! Kini, saya memiliki tujuan dan arah hidup yang lebih pasti dan memang perjuangan harus lebih besar, karena hidup Cuma sekali..dan saya sedang belajar untuk tidak menyia-nyiakan banyak kesempatan untuk belajar dari hidup dan menjadi warna baru bagi hidup orang lain.

Staying Close By Staying In

Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan sesamanya manusia. Setiap manusia memang sudah dirancang untuk hidup bersama dengan manusia lain, dan untuk itulah mereka membentuk sebuah komunitas. Komunitas bukan hanya sekedar tempat, dimana terdapat orang-orang yang kita kenal atau bahkan tempat yang hanya terdiri dari teman-teman akrab kita. Komunitas adalah tempat dimana setiap orang atau makhluk yang ada berinteraksi, dan hidup bersama. Jadi, dapat dikatakan bahwa komunitas adalah tempat untuk saling memberi dan diberi, saling melengkapi dan memperkaya. Kok bisa? Tentu saja, karena, hal kedua yang perlu kita sadari tentang komunitas adalah, bahwa setiap orang yang ada memiliki kekayaan ( Ini bukan soal kekayaan materi loh!! ) , keunikan, kelebihan dan kekurangan yang berbeda satu dengan yang lain. Setiap manusia memiliki kekayaan spiritual, cara pandang, budaya, sejarah, intelektual, pengalaman hidup, hingga macam kepahitan dan kekecewaan yang tidak dapat dihindari.
Tapi proses memberi, diberi, melengkapi dan memperkaya bukanlah proses yang mudah. Layaknya sebuah proses menerima diri sendiri yang tidak mudah, apalagi proses menerima orang lain untuk masuk ke dalam kehidupan kita. Oleh karena itu proses tersebut memiliki berapa tahapan yang harus dilalui. Tahapan pertama yang harus dilalui adalah MENGENAL. Tak kenal maka tak sayang. Mengenal disini bukan hanya mengenal orang lain loh, tapi juga bagaimana mengenal diri sendiri. Jangan merasa telah mengenal diri seratus persen loh, karena berdasarkan penelitian ilmu psikologi yang dikenal sebagai Teori Gunung Es, manusia hanya mampu mengenal diri sebatas apa yang ada dalam kesadaran manusia itu sendiri. Sedangkan banyak hal yang berada di luar kesadaran manusia yang ternyata mempengaruhi kehidupan manusia secara signifikan. Nah, bila kita sudah belajar untuk mengenali diri sendiri, (walau pasti tidak akan pernah seratus persen, karena hanya Tuhan yang dapat mengenal kita sedemikian rupa) mari kita belajar untuk mengenal manusia lain. Nah dalam proses mengenal sesama ini juga bukan hanya mengenal nama, alamat, kapan ia berulang tahun, makanan kesukaannya, atau merek parfumnya. Lalu apa dong? Mari kita coba untuk mengenal cara berpikirnya, prinsipnya, apa yang ia junjung tinggi, apa yang menurutnya berharga dalam hidup dan apa yang tidak. Mengapa hal diatas penting? Banyak manusia, tanpa ia sadar memutuskan, menilai segala sesuatu berdasarkan hal-hal tersebut, termasuk ketika ia memutuskan untuk menjadi bagian dari hidup kita atau tidak. Dalam proses ini, hendaknya kita lebih banyak mendengar, mencari tahu, ketimbang menimpali atau menentang.
Bukan hanya kita yang harus mengenal dan mengerti orang lain bukan? Kita juga berhak menyatakan identitas dan jati diri kita, termasuk pendapat, prinsip dan apapun yang kita anggap penting untuk mereka ketahui. Bila penerimaan hanya terjadi sepihak maka kemungkinan besar kita akan menjadi ‘keset kaki’ dan bukan rekan, saudara atau sesama yang sepadan. Namun, cara kita menyampaikan siapa diri kita, identitas dan keinginan kita tidak bisa dilakukan dengan cara yang salah misalnya dengan kekerasan. Untuk itulah manusia membutuhkan KOMUNIKASI. Tentunya dengan pemahaman bahwa komunikasi bukan hanya sekedar bertanya jam berapa sekarang, atau apakah anda sudah berkeluarga atau belum, karena itu dapat kita lakukan dengan orang yang baru saja kita ketemui di jalan, bis kota, atau antrian bioskop. Komunikasi yang dimaksud di sini adalah komunikasi yang menandakan adanya pengiriman dan penerimaan pesan antara individu dengan individu yang lain sehingga pesan yang dimaksud dapat dimengerti dengan benar dan tepat sasaran. Nah, karena mengenal adalah proses yang panjang, yang bahkan akan memakan seluruh waktu dalam hidup manusia, begitu juga dengan komunikasi. Kita tidak akan pernah dapat berhenti berkomunikasi satu dengan yang lain.
Sudah kenal, sudah saling berkomunikasi, apakah sudah cukup untuk membangun sebuah komunitas yang sehat dan mengatasi segala perbedaan kekayaan yang ada? Tidak tentunya. Kita masih harus menempuh 2 tahap terakhir. Yaitu MEMBENTUK HARMONI, dan MENCAPAI HASIL. Apa yang terjadi dalam pembentukan harmoni? Rangkaian nada akan jauh lebih berarti dari sebuah nada bukan? Dan tentunya rangkaian nada tersebut juga tidak disusun secara asal, namun disusun sedemikian rupa untuk menghasilkan rangkaian nada yang membentuk sebuah harmoni yang indah. Begitu juga dengan kita sebagai manusia, (bukan berarti banyak manusia lebih berharga dari satu manusia loh!!) ketika masing masing kita bersikap bersahabat, supportif, saling menerima perbedaan dan mendukung satu dengan yang lain, maka kita akan menciptakan sebuah iklim untuk menciptakan sebuah persatuan. Tidak mudah memang, karena pada tahap ini ada kalanya kita harus mengalah, mendahulukan kepentingan orang lain, dan mengakui kelebihan orang lain. Namun yang harus kita ingat adalah ini bukan soal menang dan kalah, tapi soal kebesaran hati untuk menerima sesama ciptaan Tuhan yang diciptakanNya baik adanya, sama seperti kita.
Dengan tercapainya sebuah pengenalan yang baik dan tepat, terbinanya komunikasi yang benar dan positif, serta terbentuknya rasa saling pengertian, tanpa kita sadari hal-hal tersebut akan membentuk suatu komunitas yang hidup untuk mencapai hasil bersama. Di dalam tahap inilah konflik sekalipun dapat diubah menjadi sebuah alat untuk mencapai kreativitas lebih. Komunitas bukan hanya menjadi tempat untuk berkumpul, kongkow-kongkow, atau sekedar refreshing, namun menjadi alat untuk memecahkan masalah. Waahhhh luar biasa bukan? Bila kita semua ingin mencapai tahap ini, mari kita usahakan setiap tahap berjalan dengan baik dan maksimal, dengan begitu bukan hanya kita menjadi berkat bagi komunitas dimana kita ada, namun komunitas kita juga dapat menjadi berkat bagi komunitas yang lebih besar!! Selamat menjadi berkat yang tak terkira!
Gathered from all places, Many homes and land
Many tounges and races, can we understand?
Learning common language, seeking one accord
Time to hear each other time to end discord.

Sharing our resources, we can reach world wide
We will work for justice for those long denied
“What can we accomplish? We are just a few”
Then we hear God’s answer: “ iT must start with you”
(Text: Barbara Price and Linda based on Eph 4.©2009)

Backstreet VS Frontstreet

Backstreet VS Frontstreet

Siapa sih anak muda yang ngak tau istilah ‘backstreet’? pasti teman-teman tahu pasti istilah ini. Ini adalah istilah yang saya kenal sekitar tahun 90-an, yaitu ketika banyak teman sekolah saya yang sudah mulai berpacaran. Apa sih arti backstreet itu sebenarnya? Yuk kita telusuri bersama!
Backstreet, yang arti harafiahnya adalah jalan belakang, merupakan istilah anak muda masa kini, yang menjalin hubungan dengan lawan jenis(berpacaran) tanpa diketahui oleh keluarga ataupun lingkungannya. Apa alasannya? Wah banyak sekali! Sebut saja karena baik keluarga, maupun lingkungan tidak menyetujui hubungan tersebut, atau karena terlalu banyak aturan dari pihak keluarga dan lingkungan. Kebanyakan, aturan dan larangan memang berasal dari orang tua pihak perempuan. Orang tua pihak perempuan biasanya khawatir kalau mengizinkan putrinya pacaran nanti bisa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Atau, bisa juga karena orangtua tak menyukai profil pacar anaknya, bisa karena beda status sosial, etnis, agama dan semacamnya. Nah, dengan gaya berpacaran ini, kedua sejoli dapat tetap membina hubungan tanpa diketahui oleh orang lain.
Gaya berpacaran seperti ini bukan tanpa konsekuensi loh! Walaupun banyak dari remaja menganggap backstreet akan mengurangi munculnya masalah-masalah yang berhubungan dengan orang tua. Malah sebaliknya, dengan gaya pacaran tersebut, kita akan menemukan banyak persoalan dengan orang tua, bahkan konflik antara dua sejoli tersebut. Hah kok bisa? Karena pada dasarnya backstreet adalah menyembunyikan suatu kebenaran, maka kita akan terbiasa membohongi orang tua kita bukan? Dari sanalah banyak konflik akan bermunculan. Misalnya: karena anak selalu menolak diajak pergi keluar. Sebenarnya bukan karena malas, tapi agar bisa bertemu dengan sang kekasih. Lama-kelamaan tentu orangtua akan curiga dan jadi sering marah-marah pada anaknya. Sedangkan konflik dengan pasangan sendairi bis terjadi karena kesulitan mengatur janji untuk bertemu. Kalau tidak pintar-pintar memahami, pasti jadi gampang berantem.
Pacaran backstreet juga dinilai lebih berat ketimbang pacaran normal (tidak backstreet). Konflik yang muncul lebih kompleks dan membebani pikiran. Hal itu akan memicu timbulnya stres. Sebab, ada harapan yang sama-sama tidak terpenuhi. Anak merasa orangtua tidak memenuhi harapannya, begitu juga seballiknya, anak tak memenuhi harapan orangtua. Kalau kedua belah pihak saling bersikeras, tentu energi negatif yang keluar semakin banyak. Beban pikiran yang awalnya hanya sebatas stres, lama-kelamaan berubah depresi.
Dimana ada niat, disitu pasti ada jalan, betul? Karena itu, sebelum memutuskan untuk pacaran,pasangan harus sudah yakin untuk melangkah bersama. Tunjukan kalau cinta yang dimiliki pasangan memang layak diperjuangkan. Sedangkan jika dari awal sudah ragu, sebaiknya memang tak usah diteruskan daripada pacaran backstreet tapi akhirnya hanya menyakitkan.
Ingat loh, pacaran itu bukan hanya untuk mengisi kesepian kita, atau hanya karena ingin eksis diantara teman sepergaulan. Karena hakekatnya pacaran adalah suatu tahapan yang harus dilewati manusia dalam rangka pengenalan sebelum memasuki masa pernikahan. Jadi bukan masa untuk saling memuaskan kebutuhan, keinginan, masing-masing individu. Nah, untuk itu cobalah simak beberapa tips untuk menghindari backstreet alias mencari frontstreet di bawah ini:
1. Cobalah untuk berterus terang alias jujur! Kejujuran dan keterbukaan adalah awal dari jalan keluar loh.
2. Cobalah untuk mengkomunikasikan perasaan dan niat kalian untuk berpacaran. Komunikasi adalah jalan terbaik bagi kedua belah pihak, orang tua, dan kalian sendiri.
3. Realistislah! Banyak pasangan yang tidak mampu berpikir realistis karena dimabuk asmara. Pikirkanlah apa yang akan kalian hadapi 5, 10,20 tahun mendatang sebagai keluarga, jangan cuma memikirkan apa yang sedang kalian hadapi hari ini, malam ini.

My Family, My Cross...

“Gue sebel sama ade gue, tadi dia ngaduin gue ke nyokap, kalo gue yang mecahin vas bunga mahal punya nyokap. Tuh mulutnya kaya ember banget! Nyesel gue dulu pernah minta ade sama nyokap gue!!”
Adakah dari kita yang pernah mengucapkan kalimat penyesalan seperti di atas? Atau dalam bentuk yang lain misalnya kepada orang tua, kakak atau saudara yang lain? Jangan takut untuk mengakuinya loh! Karena kalimat tersebut adalah kalimat yang paling sering terlontar secara spontan karena emosi sesaat yang dialami oleh anggota keluarga karena adanya hal yang berjalan diluar kehendak dan kendalinya. Kalo dipikir-pikir kata-kata tersebut memang sangat normal dan manusiawi (bukan berarti kita boleh mengatakannya loh), karena kebanyakan manusia ingin memiliki keluarga ataupun anggota keluarga yang sesuai dengan harapannya. Sedangkan pada kenyataannya kita memang tidak dapat memilih siapa yang akan menjadi orang tua ataupun saudara kita; seperti apa rupa orang tua dan saudara-saudara kita; keadaan ekonomi; sifat-sifat buruk yang tidak diharapkan, dan lain sebagainya.
Pdt. Em Andar Ismail, pernah mengatakan bahwa setiap keluarga memiliki salibnya masing-masing, yang berbeda satu keluarga dengan yang lain, baik dalam hal rupa dan beratnya. Hal-hal yang tidak kita harapkan terjadi dalam keluarga kita, masalah-masalah ringan hingga yang seakan tidak dapat kita tanggung, konflik antara anggota keluarga, perbedaan pendapat dan prinsip, dan lain sebagainya, itulah yang diumpakan beliau sebagai salib.
Masalahnya, banyak dari kita yang merasa salib kita terlalu berat atau salib keluarga lain jauh lebih ringan. Sehingga ungkapan ‘rumput tetangga jauh lebih hijau dari rumput di halaman sendiri’ menjadi hal yang biasa. Padahal, bagi yang mengalaminya sendiri mungkin rumput di halaman kitalah yang jauh lebih hijau, lebih subur dibanding rumput di halaman kita. Atau dengan kata lain, ketika kita mulai mengatakan enaknya punya keluarga seperti seperti keluarga si A, atau keluarga si B, mereka juga mungkin berpikir betapa enaknya memiliki keluarga seperti yang kita miliki.
Nah kalau sudah begitu, kita akan menjadi anak-anak pemimpi yang tidak mau menghadapi realitas yang telah Tuhan karuniakan kepada kita, dalam rupa keluarga dan segenap permasalahannya. Lalu apa yang dapat kita lakukan? Hal pertama yang harus kita sadari adalah bahwa Tuhan tidak pernah asal-asalan menempatkan kita di sebuah keluarga loh! Segala sesuatu sudah dirancangkan jauh-jauh hari sebelum kita berada di dalam kandungan ibu kita, serperti yang Tuhan katakan kepada Nabi Yeremia dalam Yeremia 1: 5a yang berbunyi: “sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau.” Ia tahu keluarga yang ‘terbaik’ bagi setiap kita untuk bertumbuh dan berkembang.
Memang kita dapat berkata: “ Bagaimana keluarga saya dapat dikatakan tempat yang baik bagi saya untuk bertumbuh dan berkembang, ketika saya merasa orang tua saya menyakiti saya lewat perkataan, dan perbuatan mereka.” Tapi kita juga harus menyadari bahwa cara Tuhan membentuk kita tidak kadang tidak sejalan dengan cara kita, bahkan kadang Tuhan membentuk kita dengan proses yang tidak menyenangkan hingga menyakitkan. Tentunya bukan untuk sekedar menguji, atau untuk kepentingan DiriNya semata, tapi untuk menjadikan kita anak-anakNya yang berkualitas, bermartabat dihadapanNya dan di hadapan sesama manusia.
Nah, karena cara Tuhan kadang tidak sejalan dengan cara kita, bagaimana kita merespon cara Tuhan ini?
1. Bersyukurlah. Bersyukur bukan hanya ketika kita mengatakan terima kasih Tuhan telah memberikanku orang tua yang baik, yang sudah menyekolahkanku hingga sebesar ini. Tapi ketika kita menggunakan kesempatan yang Tuhan beri sebagai sebuah keluarga untuk saling memberi yang terbaik selama kita bisa. Bersyukur untuk semua pahit manis yang kita jalani sebagai sebuah keluarga dengan tetap meyakini janji Tuhan, bahwa segala sesuatu akan dibuatNya menjadi kebaikkan bagi setiap kita yang percaya kepadaNya. (Roma 8:28.)
2. Tempatkan diri sebagai Sahabat bagi setiap anggota keluarga. “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menajdi saudara di dalam kesukaran” Amsal 17:17. Kadang kita tidak dapat memahami mengapa orang tua, saudara kita melakukan ini dan itu yang membuat kita kesal, marah hingga sedih. Bahkan kita sering kali tidak dapat memahami siapa sebenarnya orang tua dan saudara kita. Oleh karena itu, cobalah menjadi seorang sahabat bagi mereka, yang siap mengerti, mendengar, menolong setiap anggota keluarga kita, dan bukan hanya meminta untuk dimengerti, didengar, ditolong!
3. Jadilah pribadi yang bersikap positif satu terhadap yang lain, dengan cara mengevaluasi diri tentang seberapa banyak kita, sebagai anggota keluarga telah mengubah anggota keluarga kita yang lain menjadi lebih baik. Sudahkah, dengan keberadaan kita sebagai anak, kakak, adik, menjadikan hidup orang tua, kakak dan adik kita menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

“ Teladan: Menjadi Duta Iman, Pengharapan dan Kasih”

1 Tesalonika 1:1-10


Setiap kita pasti punya panggilan masing2. Di rumah seorang laki-laki saja mungkin mendapat beberapa panggilan dari anggota keluarganya. Sebagai seorang suami dia mendapat panggilan sanyang, sebagai seorang ayah dia dipanggil ayah atau papa, sebagai seorang anak laki-laki tertua ia bisa saja mendapat panggilan kakak, atau koko, dan lain sebagainya.

Setiap manusia punya status, dan identitas; setiap orang dapat memiliki 1 bahkan banyak sekali status bagi dirinya sendiri, baik sebagai Ayah, karyawan, pemimpin perusahaan, suami, kakak, adik, mahasiswa/i, pelayan, hingga menjadi hamba Allah dan duta Allah. Namun kini yang menjadi pertanyaan pentingnya adalah sejauh mana kita memenuhi dan memaknai panggilan akan statusnya itu?

Adakah kita hanya menjalankan satu dua status yang kita anggap mudah? Ataukah kita menjalani semuanya dengan asal saja, setengah2? Atau kita menjalankan status dan panggilan kita tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab dan kesungguhan hati dan mengerahkan segala daya dan upaya untuk memberikan yang terbaik pada setiap panggilan tersebut?

Nah, kini apa arti menjadi duta?
Dalam KBBI, duta (Sangsekerta) adalah orang yang diutus untuk melakukan tugas khusus, menjadi utusan untuk melakukan misi tertentu, orang yang mewakili suatu negara untuk mengurus kepentingan negara yang diwakilinya, membantu, melindungi warga negara yang tinggal di negara itu. Ketika kita dipanggil menjadi duta Allah, maka tugas kita adalah menjadi utusan untuk melakukan misi tertentu. Tentunya ketika berbicara tentang misi Allah, kita akan membicarakan banyak hal yang tidak akan dapat dibahjas dalam percakapan satu malam, (di STT Jakarta saja misiologi dibahas 2 semester, masing2 3 sks) Tapi melalui bacaan kita hari ini, kita diajak untuk menjalani tugas untuk mewartakan apa itu IMAN, PENGHARAPAN dan KASIH melalui teladan hidup kita.

Apa yang dihadapi jemaat Tesalonika?
Di tesalonika untuk pertama kalinya pemberitaan Paulus mendapat banyak pengikut dari golongan masyarakat kelas atas. Lawannya tidak berhasil mempengaruhi pemerintah seperti di tempat lain, sehingga mereka memilih jalan menimbulkan kerusuhan dengan maksud memaksa pemerintah kota untuk mengambil tindakkan. Para penguasa yang tertangap oleh tuduhan tidak patuh terhadap kaisar, mengambil tindakan dengan menyingkirkan Paulus tanpa melakukan kekerasan.
Oleh karena itu sekitar tahun 50 M paulus dan rekan2 meninggalkan Tesalonika, yaitu sesudah beberapa orang bertobat dan satu jemaat didirikan. Dengan situasi demikian, dapat dipastikan bahwa orang –orang yang bertobat itu akan mendapatkan penganiayaan, padahal untuk meghadapi itu mereka belum siap. Sebab Paulus tidak punya cukup waktu untuk mengajar dan menemani mereka bertumbuh. Namun, ketika Timotius kembali kepada Paulus di kota Korintus, ia membawa kabar baik tentang keteguhan hati jemaat di Tesalonika dan kegiatan mereka dalam penyebaran Injil.

Apa saja yang telah dibuat jemaat Tesalonika hingga mereka menjadi teladan di dalam pekerjaan iman, usaha kasihmu, dan ketekunan pengharapan mereka?
1. Ayat 6. Dan kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus; menjadi penurut bukanlah hal yang mudah. Di saat menyenangkan saja tidak mudah untuk menjadi penurut2 Allah, apalagi pada masa sukar, penuh tekanan dan kesulitan. Tapi dengan teguh jemaat Tesalonika memberi diri untuk taat kepada Allah, mengapa? Apakah karena mereka memang kuat? Atau mereka pura2 kuat, seperti kebanyakan kita? Dari manakah kekuatan yang mereka miliki? Bukan karena kuasa mereka sendiri, mereka mampu untuk menjadi taat, tapi karena iman yang telah dianugerahkan kepada mereka oleh Allah sendiri yang memabntu mereka untuk taat. Ketaatan adalah bukti kepercayaan, dan pemberian diri kepada Tuhan. Karena beriman bukan hanya percaya, namun mempercakan diri, dan ketaatan menjadi bukti nyata dari jemaat tesalonika yang mempercayakan diri kepada Allah walau kondisi, situasi, kebahagiaan tidak berpihak kepada kita sekalipun. Di saat-saat sulit inilah Jemaat Tesalonika menjadi teladan dalam pengharapan yang tidak putus2nya kepada Allah. Dengan hidup berdasakan pengharapan itulah jemaat Tesalonika melakukan hal yang dianggap manusia lain adalah hal yang terberat sekalipun, dan dengan melakukannyalah sukacita tak terkira dialami oleh jemaat ini.
 Sudahkah kita menjadi teladan dalam ketaatan kita kepada Allah dalam segenap bidang kehidupan kita? Di dalam keluarga, sudahkah kita sebagai isteri, suami, anak, orang tua menunjukkan ketaatan kepada Kristus sebagai kepala?
 Sudahkah di dalam hidup kita kita menyatakan bahwa kita adalh orang yang berpengharapan dengan melakukan apa yang Ia inginkan untuk kita lakukan dengan sukacita bukan dengan gerutu, kemarahan dan kekesalan terus menerus? Karena pengharapan sesungguhnya menjadi kekuatan dan sumber sukacita bagi manusia di dalam masa tersulit sekalipun
2. Ayat 9 bagaimana kamu berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar. Sulitkah membuktikan rasa sayang anda kepada mereka yang anda kasihi? Banyak yang mengatakan mudah, namun tidak sedikit pula yang mengatakan sulit. Hal itu dikarenakan memberi bukti memang bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan dibandingkan berkata2 dan memberikan janji manis. Bila keapda manusia yang ada di hadapan kita saja kita sulit untuk membuktikan janji kita, bagaimana kepada Allah yang tidak nampak? Namun ternyata hal tersebut bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan oleh Jemaat Tesalonika. Mereka membuktikan kasih mereka pertama-tama kepada Tuhan dengan berbalik dari berhala2, ilah2 mereka yang lama, sungguh melayani Allah dengan hidup benar.
 Dalam hidup kita, sudahkah kita meninggalkan berhala2 hati (materi, orang-orang terdekat, intelektual, kuasa) kita yang lama, yang membawa kita menjauh dari Tuhan, yang membuat kita menduakan Tuhan? Seberapa besar usahala yang kita berikan untuk membuktikan kasih kita kepada Tuhan, dengan memberikan bukti untuk dilihat, dirasakan dan menjadi inspirasi bagi orang –orang disekitar kita?

Melayani Dengan Sukacita dan Sukarela

Kejadian 18:1-10a
Maz 15
Kolose 1: 15-28
Lukas 10:38-42

“Melayani? cape ah!!” kata seorang anak remaja kepada saya beberapa waktu yang lalu. “loh kenapa, kok gitu?” “Iya,pelayanan itu buat kita ga bisa main sama teman, buat kita harus banyak berkorban, buat kita ga bisa punya waktu banyak untuk diri sendiri...banyak deh kak.” Tuturnya kepada saya.
Banyak orang Kristen memandang pelayanan sebagai sesuatu yang melelahkan, menyita waktu, membuang tenaga pikiran, merugikan baik secara materil, dan lain sebagainya. Apakah benar pelayanan menjadi sesuatu yang sangat merugikan manusia? Tergantung...tergantung kita menilai dan memahami sebuah pelayanan yang kita lakukan. Kita akan selalu merasa pelayanan sebagai sesuatu yang memberatkan bila kita melihat pelayanan adalah sebuah kewajiban yang harus kita lakukan demi mendapatkan keselamatan kekal.

Pelayanan yang kita lakukan bukanlah suatu kewajiban. Tuhan tidak pernah mewajibkan kita untuk melayani Dia. Dia memanggil kita, dan bukan mewajibkan kita. Kita diperkenankan untuk menjawab ya atau tidak terhadap pelayanan yang Tuhan tawarkan. Oleh karena itu pelayanan, merupakan jawaban dari kerelaan kita. Bila rela saja tidak, bagaimana dapat melayani dengan sukacita? Kerelaan adalah dasar dari sukacita yang tidak terkondisi. Ketika kita mulai memberi diri, rela untuk dipakai, rela untuk memberi, rela untuk melakukan hal yang dianggap berat oleh kebanyakan manusia, kita akan menemukan diri kita yang mampu mengatasi segala kesulitan terberar sekalipun dalam hidup dengan tetap mengucap syukur kepada Tuhan.

Jadi, Melayani itu apa sih? Ada yang mengatakan bahwa melayani berarti membantu menyiapkan, mengurus apa yang dibutuhkan seseorang. Dapat dikatakan melayani, secara hakekat adalah suatu kegiatan yang memang diperuntukkan untuk orang lain, untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan orang lain. Lalu kini apa bedanya dengan pelayanan?pelayanan ternyata memiliki makna yang sedikit berbeda. Dimananakah perbedaannya? Perbedaannya adalah bahwa pelayanan adalah suatu kegiatan atau usaha melayani orang lain dengan memperoleh imbalan, atau yang biasa kita sebut dengan jasa.

Bukanlah sesuatu kekeliruan bila kita, sebagai pelayan yang memberikan pelayanan di gereja, rumah hingga masyarakat memilih untuk memberikan pelayanan dengan mengharapkan imbalan, karena memang itulah arti pelayanan menurut KBBI. Tapi tentunya, itu bukanlah arti pelayanan menurut Kekristenan. Lalu apa arti pelayanan yang dilakukan dalam kerelaan dan sukacita menurut bacaan kita hari ini?

Dalam kisah pertama kita pelayanan yang dilakukan Abraham kepada 3 orang utusan Allah adalah pelayanan yang dilakukan dengan penuh inisiatif. Banyak orang kristen, yang menyatakan diri sebagai pelayan Tuhan, mengumbar hal manis di depan orang lain yang dilayaninya, namun menusuk mereka dari belakang. Mari kita renungkan berapa banyak orang Kristen, termasuk kita yang mengumbar janji di depan dan melanggarnya dengan mencari pembenaran atas diri sendiri. “oh iya tenang saja, nanti saya akan bantu ko, pasti beres, nanti saya pasti akan mengerjakannya. Tenang saja, jangan kuatir, ada saya kok, nanti saya yang akan menyampaikan kok!” namun apa yang dikatakannya itu tidak pernah diwujudkan, alih alih meminta maaf atas pelanggaran janji yang dilakukan, malah mengatakan “Yah saya tidak tahu sih apa yang harus saya lakukan, saya kan orang baru di sini. Aduh maaf saya kan sibuk, jadi belum sempat mengerjakan.” Abraham bukanlah orang yang suka mengumbar janji dan bersungut2 dalam menjalankan janjinya. Apa yang ia katakan sebagai bentuk inisiatif yang tulus (dan bukan hanya untuk menjilat), dilakukannya hal tersebut itu dengan sebaik2nya, bahkan terbaik, walaupun sesungguhnya ia bisa melakukannya dengan berat hati dan akhirnya memberi yang sekedarnya. (Kej 18: 6-8) Jadi bagi Abraham, pelayanan tidak dilihat dari berapa banyak yang ia berikan kepada orang yang dilayaninya, namun seberapa ia mampu memberikan bukan hanya yang baik tapi yang terbaik bagi orang2 yang dilayaninya, dengan penuh kerelaan dan sukacita.

Bagaimana dengan kisah Maria? Apa arti pelayanan bagi seorang Maria? Maria melayani Tuhan bukan dengan kesibukan, bukan dengan kreativitas yang tinggi, dengan kerja keras yang nampak, seperti kebanyakan manusia memahami pelayanan. Tapi yang dilakukan Maria lebih dari itu semua, yaitu ketika ia meletakkan, mengarahkan dan memberikan hatinya kepada Tuhan. “ Bagaimana dan dengan apa seharusnya seorang pelayan Tuhan melayani Tuhan dan sesama?” Ketika pertanyaan itu saya lontarkan kepada seorang rekan mahasiswa Teologi apa kira2 jawaban yang ia berikan? “pake tangan lah kak...pakai apa lagi?” Saya tersentak mendengar jawaban itu, walau jawaban itu adalah jawaban yang sangat manusiawi,... sangat normal! Namun Apa yang normal dan manusiawi menurut manusia, belum tentu normal menurut pandangan Allah. Saya memiliki teman yang tidak memiliki tangan yang sempurna, ia adalah seorang sarjana komputer lulusan Universitas Indonesia. Ia juga seorang Master Ministry dari STT Jakarta, dan juga seorang Sarjana Sains Teologi dari seminari yang sama. Ia ditolak untuk menjadi pengerja dengan alasan ia tidak punya tangan yang sempurna, lalu bagaiaman nanti ia mengenakan jubah kebesaran seorang pendeta? Bagaimana ia dapat menggunakan jas paling tidak dan melakukan penyerahan alkitab di bawah mimbar? Apakah seseorang yang tidak memiliki tangan tidak dapat melayani Tuhan? Atau adakah seseorang yang tidak memiliki kompetensi, yang dianggap oleh banyak manusia sebagai syarat untuk melayani, tidak dapat melayani ? Maria tidak memberikan apapun yang menurut manusia berharga untuk diberikan kepada Allah, tapi ia memiliki hati yang bersih, yang murni dan tulus, yang ia berikan khusus kepada Allahnya. Sadarkah kita, bahwa kita tidak akan penah dapat melayani Tuhan dan sesama dengan sukacita, tanpa kerelaan memberi hati untuk diisi, dipenuhi oleh Tuhan sendiri. Maria dengan penuh kerelaan dan sukacita memberi dirinya yang utuh kepada Tuhan bukan hanya sekedar mencari pengakuan dan pujian dari orang lain, yang mengatakan betapa hebatnya dia dapat melakukan ini dan itu.

Yesus, bagaimana Yesus dapat menjalankan pelayanan dengan sukacita, tanpa keterpaksaan, tanpa gerutu dan kemarahan kepada BapaNya yang membiarkanNya mati di tangan orang-orang berdosa? “Oh karena Dia Tuhan.. makanya Ia bisa melakukan itu semua!!” biasanya menjadi alasan kita untuk tidak melakukan hal yang sama bagi Tuhan dan sesama. Apakah itu alasan yang tepat untuk menilai pelayanan Yesus yang dilakukannya dengan penuh sukacita dan kerelaan? Saya rasa itu adalah alasan yang kurang tepat, karena walaupun Yesus adalah Allah 100 % Dia juga adalah Manusia 100% dan tidak ada dari kita yang menyangkal kemanusiaanNya bukan? Tapi mengapa Ia bisa? Karena ia adalah seorang pengikut Allah yang dewasa dan matang.
Manusia yang dikatakan dewasa adalah manusia yang hidupnya tidak berorientasi pada dirinya sendiri tapi pada orang lain dan tanpa membeda2kan satu dengan yang lain.
Manusia yang tidak hanya tahu apa yang terbaik bagi dirinya, namun juga tahu yang terbaik bagi orang lain serta rela memberi yang terbaik bagi orang lain tersebut.
Manusia yang rela mengakui kelebihan orang lain dan menjadikannya sesuatu yang memperkaya dirinya dan bukan mengancam eksistensinya dan mampu bersukacita atas keberhasilan orang lain.
Manusia yang rela memberi dan memperkaya dunia karena itulah bentuk sukacita yang dimilikinya, bukan hanya meminta dunia memenuhi dan memperkaya hidupnya.