Sabtu, 07 Februari 2009

HOMOSEKSUAL: CIPTAAN ALLAH-KAH?

Baik Homoseksual atau heteroseksual tentu bukan hal yang asing bagi masyarakat dewasa ini. Namun sepertinya masih banyak dari kita yang tidak memiliki pemahaman yang benar tentang hal ini. Kedua istilah ini sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah orientasi seksual, atau kecenderungan seseorang untuk tertarik secara seksual kepada jenis kelamin tertentu, baik itu kepada orang yang berjenis kelamin sama atau yang berbeda.[1] Dalam kasus ini homoseksual berbeda dengan waria. Seorang yang menyatakan dirinya homo[2] (gay) mengidentikkan dirinya tetap sebagai laki-laki, yang menyukai sesama jenis. Oleh karena itu ia tetap berdandan selayaknya laki-laki normal. Sedangkan seorang waria mengidentikan dirinya sebagai seorang wanita, oleh karena itu para waria berpakaian, berprilaku seperti selayaknya seorang perempuan. Pada perkembangannya kini, di negara-negara Barat khususnya, mereka menyebutnya sebagai transgender, atau mereka yang merasa ‘terjebak’ dalam tubuh yang salah.

Persoalan orientasi seks ini perlu mendapat perhatian lebih, karena menyangkut begitu banyak faktor baik internal maupun eksternal. Kita tidak bisa langsung mengklaim mereka sebagai pendosa. Pengalaman pahit seperti pelecehan seksual seringkali menjadi penyebab utama orientasi seksual ini. Selain itu lingkungan juga menjadi pengaruh yang begitu besar bagi seseorang yang sedang mencari jati diri dan orientasi seksualnya. Sebut saja Dodi (bukan nama sebenarnya), pemuda berusia 23 tahun, yang menetap di kota Bandung ini mengaku sebagai seorang gay dan bukan waria, sejak 4 tahun yang lalu. Ia mengaku bahwa orientasi seksualnya lebih banyak disebabkan oleh lingkungan dan bukan diakibatkan oleh pelecehan seksual. Sedangkan Heru (bukan nama sebenarnya), yang mengaku sebagai pasangan seksual Dodi, menyatakan bahwa orientasi seksualnya lebih disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Ada juga Mike (bukan nama sebenarnya) yang mengalami gangguan hormon, yang menyebabkan ‘kelainan’ pada orientasi seksualnya.

Berbeda dengan Dodi, yang menjadikan homoseksual sebagai pilihannya sendiri, Heru dan Mike menyatakan bahwa orientasi seksual mereka kini bukanlah sesuatu yang mereka inginkan. Tubuh(hormon, anatomi) dan pikiran mereka mendorong orientasi seksual yang berbeda sama sekali.

Siapapun tentu tidak mau dilahirkan dengan keadaan ‘berbeda’ dengan yang lain, apalagi dengan perbedaan itu mereka menjadi kaum yang dibenci, dikucilkan bahkan dihakimi. Hidup dengan ‘perbedaan’ itu saja sudah menjadi momok bagi mereka. Bila harus ditambah dengan perlakuan buruk dari kita selaku masyarakat yang mengaku ‘normal’, tentu hidup bukanlah hal yang nyaman untuk dijalani. Tidak heran bila kaum homoseksual ataupun transgender lebih memilih hidup berkelompok dengan mereka yang memiliki orientasi seksual yang sama, daripada harus bergaul dengan masyarakat umum.

Menjauhi mereka bukan jawaban untuk menolong mereka. Menjauhi mereka malah membuat mereka semakin tersisih dan terperosok. Menolong mereka pertama-tama harus dilakukan dengan cara menerima keberadaan mereka dan mendengar keluhan mereka. Homoseks yang disebabkan oleh lingkungan atau luka batin akibat pelecehan seksual pada masa lalu bukan hal yang permanen. Seorang homoseksual bisa reorientasi ketika kita mau mendampingi dan membantu mereka menemukan jati dari mereka sebagai manusia yang utuh. Namun bila seseorang menjadi homoseksual atau transgender, oleh karena persoalan biologis, hormon, anatomi tubuh (termasuk orang yang lahir dengan 2 alat kelamin lengkap dengan hormonnya), tentu tidak dapat kita ‘paksa’ ia untuk menjadi normal. Apakah dengan lahir ‘cacat’ hormon atau tubuh, mereka menjadi berdosa? Siapakah manusia yang sempurna di dunia ini? Saya yakin 100% tidak ada! Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah sendiri. Dengan mengasingkan mereka ataupun tidak menghargai mereka, kita mengklaim diri sebagai manusia yang sempurna, sedangkan mereka ‘cacat’. Lalu apa bedanya kita dengan orang-orang Yahudi pada masa Yesus yang memandang kecacatan sebagai momok dan hukuman dosa?

Yesus hadir di dunia ini semata-mata bukan untuk orang ‘normal’, namun ia hadir untuk semua orang termasuk mereka yang dianggap ‘cacat’ oleh kita. Peristiwa Yesus menyembuhkan orang buta sejak lahir mengajarkan kita, bahwa apa yang dianggap dunia sesuatu yang buruk, yang perlu disingkirkan, yang tidak pantas mendapat keselamatan, dapat dipakai untuk menyatakan kuasa dan kemuliaanNya. Jadi kitapun tidak dapat berkata bahwa orang-orang seperti mereka tidak mungkin dipakai Allah. Malah, orang-orang seperti mereka dapat Allah pakai menjadi alat yang luar biasa untuk kemuliaanNya.

Menjadi homoseksual bukan keinginan mereka, kecuali bagi mereka yang memang mengambil homoseksual sebagai pilihan hidup. Konteks masa kini tentu jauh lebih kompleks dari konteks perjanjian lama ataupun perjanjian baru. Homoseksual masa kini bukan bagian dari penyembahan terhadap dewa-dewi seperti pada masa perjanjian Lama dan Baru. Untuk melihat kasus- kasus homoseksual dewasa ini, diperlukan pendalaman tidak hanya dari sisi psikologis, namun juga sosial dan lain sebagainya. Memang dapat dikatakan bahwa homoseksual pertama kali mendapat dukungan melalui revolusi seksual yang terjadi di Amerika lebih dari setengah abad yang lalu. Homoseksual dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Namun seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran, homoseksual terjadi karena kelainan secara genetis. Dan tentu saja kelainan genetis seperti itu tidak dapat dikatakan sebagai penyimpangan perilaku.

Permasalahannya adalah apakah gereja mau terbuka terhadap penemuan-penemuan baru seperti itu, atau memilih menggunakan Alkitab untuk menghakimi? Gereja sering kali mengabaikan konteks, sering kali juga mengabaikan faktor-faktor lain yang seharusnya mendapat perhatian lebih. Gereja perlu melihat segala sesuatu dari beragam sisi, bukan hanya sisi depan, atau sisi belakang, namun setiap sisi yang mungkin ada dan dapat ditelaah.

Banyak gereja, khususnya gereja-gereja di kawasan Timur, seperti gereja-gereja di Indonesia yang masih menabukan persoalan seksual. Persoalan seksual dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas untuk diperbincangkan di dalam gereja. Hal tersebut sebenarnya timbul dari pemahaman yang keliru tentang seks dan seksualitasnya. Seks dan seksualitanya bukanlah sesuatu yang kotor dan najis pada dirinya sendiri. Yang membuat seks menjadi sesuatu yang kotor dan najis adah manusia yang menggunakan seks sebagai wadah untuk mengeksploitasi tubuh untuk kepentingan mereka sendiri. Alkitab mencatat bahwa seks merupakan anugrah Tuhan yang terutama harus dilandasi oleh cinta kasih dan bukan nafsu. Cara pandang yang sempit tentang seks dan sekualitasnya mendorong gereja untuk lebih cepat menghakimi dibanding cepat menelaah.

Alkitab memang akan selalu menjadi pedoman bagi manusia untuk bertindak, tapi Alkitab juga buku yang selalu up to date untuk dapat melihat segala persoalan yang timbul dewasa ini sekalipun dengan kacamata yang benar. Hanya saja terkadang manusia lebih suka menggunakan Alkitab bukan untuk menyelesaikan dan mencari jawaban dari permasalahan, namun mencari pembenaran akan pendapat pribadi.

Persoalan homoseksual, lesbi, transgender dan transeksual akan selalu ada di muka bumi selama manusia juga masih hidup. Oleh karena itu kita sebagai gereja, calon pemimpin gereja, dan para pemimpin gereja, tidak boleh menutup mata terhadap persoalan-persoalan seksual. Yang perlu kita lakukan bersama adalah mencari pengertian yang benar tentang seks, menghimpun informasi yang tentunya, tidak melulu berasal dari bidang Teologi. Semua ilmu di dunia dapat dipakai untuk dapat menghasilkan sudut pandang yang lebih baik untuk persoalan ini.

Dan tentunya kita juga perlu sadar diri, bahw tidak ada satupun manusia yang sempurna di hadapan Tuhan. Karena kesempurnaan adalah milik Tuhan seorang dan tiada yang lain. Kita, sebagai manusia yang telah dipanggil untuk dapat menjadi berkat bagi dunia, marilah kita bersama membantu mereka yang sungguh membutuhkan dukungan, penghiburan dan bukan caci maki atau penghinaan. Karena mereka sesunggunya juga adalah manusia seperti kita. Kini siapkah kita menerima dan menjadi sahabat bagi mereka?

Yael Eka Hadiputeri S. Si. Teol



[1]Sex:What do u wanna know?”, (Jakarta: Kompas, 2006), 203.

[2] Istilah homo yang artinya adalah sama, digunakan baik oleh perempuan maupun laki-laki yang memiliki orientasi seksual kepada sesama jenis. Pada perkembangannya memang homo diidentikan kepada kaum laki-laki yang memiliki orientasi seksual kepada sesama jenis. Sedangkan untuk perempuan dikenal dengan sebutan lesbi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar