Selasa, 10 Februari 2009

Ours: Sense of Belonging

Roma 14: 7-8

1 Kor 12: 14-18

Pertanyaan refleksi:

  1. komunitas itu apa sih?
  2. mengapa rasa memiliki dalam sebuah komunitas itu penting?
  3. apa yang menyebabkan seseorang tidak punya sense of belonging terhadap komunitasnya?

Manusia adalah homo socius, atau makhluk sosial. Kita tidak dapat mengelak bahwa kita tidak bisa hidup sendiri. Tidak ada satu orang manusiapun dilahirkan untuk hidup sendiri dan menyendiri. Tidak ada seorang manusaipun yang hidup di dunia ini juga hanya untuk dirinya sendiri. Dari sejak lahir manusia membutuhkan orang lain: orang tua (tentunya, karena tanpa orang tua kita, kita tidak akan ada), bidan/dokter suster (yang memantau perkembangan kita sejak masa kandungan hingga melahirkan), orang tua, guru (yang mendidik kita) bahkan tanpa kita sadari kita ternyata juga masih membutuhkan orang lain yang menanam padi, menanak nasi, memasak lauk-pauk bagi kita. Kita juga butuh manusia lain yang memintal kapas hingga jadi benang dan akhirnya menjadi baju yang sudah rapih terjahit bagi kita...hingga ketika kita mengehembuskan nafas terakhir kita kita masih membutuhkan orang lain dalam hidup kita sebagai manusia. Eksistensi kita juga ditentukan oleh manusia lain. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita ada, tanpa pengakuan dari orang lain yang menyatakan bahwa kita sungguh ada. Seseorang yang dicuekin mulu, ngak pernah dianggap ada walaupun ada, dia tidak eksis bagi orang lain. Oleh karena itu manusia membutuhkan manusia lain baginya untuk mengakui keberadaan dirinya, itulah yang kita sebut komunitas.

Masalahnya, banyak manusia modern merasa tidak lagi membutuhkan komunitas dalam hidup mereka ketika:

1. segala sesuatu telah dilengkapi dan dipenuhi oleh berbagai macam kecanggihan teknologi. Manusia kini lebih memilih Televisi, handphone, komputer, play station untuk menghabiskan waktunya dari pada berinteraksi dengan manusia lain (iklan Pizza Hut). Banyak dari pemuda dan remaja lebih nyaman berinteraksi dalam dunia maya dari pada berinteraksi secara langsung muka dengan muka. Karena melalui kecanggihan teknologi manusia merasa lebih bebas, lebih nyaman, tidak terikat oleh norma dan nilai yang ada dalam masyarakat, bahkan merasa lebih bisa menjadi diri sendiri.

2. manusia cenderung harus merasa ’butuh’ (karena ada keuntungan yang bisa kita dapatkan) dulu baru mau berelasi dengan orang lain. Maka sering terdengar ungkapan ” gue ga butuh tuh, lo aja lagi..” selama mereka merasa bahwa segala pekerjaan dapat dilakukan sendiri, maka mereka tidak akan butuh orang lain. Misalnya seorang anak yang biasanya cuek dan bahkan nyaris tidak punya waktu untuk berbincang dengan orang tuanya, tiba-tiba jadi ramah dan penurut sekali terhadap orang tuanya, selidik punya selidik ternyata anak ini mau minta dibelikan handphone baru. Sama juga ketika ditanya: ”kenapa belum kawin? Udah kepala 3 nih. Jawabnya: ”Yah semua udah bisa dilakuin sendiri, uang ada, karir oke, bebas, terus buat apa kawin, malah tambah beban!

3. manusia hanya berorientasi pada dirinya sendiri. Mereka merasa yang penting gue yang lain bodo amat. Segala sesuatu yang mereka kerjakan berpusat pada kepentingan diri dan bukan kepentingan bersama. Apakah yang aku lakukan memberikan aku keuntungan lebih atau tidak. Apakah dengan bergabung dengan komunitas ini aku akan mendapatkan sesuatu atau tidak. Tidak mengherankan ketika banyak jemaat gereja memutuskan untuk pindah gereja dengan alasan ” gw ga bertumbuh disini, jadi cari tempat lain untuk bertumbuh”. Memang tidak salah bila kita mengutamakan diri kita (karena Tuhan juga mengatakan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri dan bukan sebaliknya= karena itu wajar). Mental seperti ini memang menjadi mental yang seringkali diwariskan dari orang tua kita ”jangan main sama teman yang bodoh ya, tar keikutan bodoh, jangan main dengan teman yang malas entar keikutan malas.” Secara tidak sadar telah membentuk diri kita sebagai manusia yang mau berteman ketika pertemanan itu membawa keuntungan. Mau berkomunitas asal komunitas itu memberikan nilai lebih bagi kita. Namun ketika kepentingan diri saja yang utama, kita akan menjadi manusia yang hanya ingin diberi dan tidak mau memberi, dan kita akan pergi meninggalkan komunitas tersebut ketika dirasa komunitas tersebut tidak lagi mampu memberi nilai tambah kepada kita. Boro-boro mau bertanggung jawab, peduli saja mungkin juga tidak.

Oleh karena itu cara pandang kita terhadap kebutuhan berkomunitas itulah yang harus diubah. Komunitas bukan hanya sekedar tempat untuk menambah relasi. Komunitas juga bukan hanya sekedar tempat untuk mencari kebutuhan yang belum terpenuhi. Komunitas juga bukan hanya menjadi tempat untuk unjuk gigi, mendapat pengakuan dari orang lain. Namun Komunitas yang sesungguhnya seharusnya menjadi wadah untuk saling mengisi dan melengkapi. Karena komunitas merupakan organisme yang hidup dan saling berinteraksi. Oleh karena itu komunitas merupakan tempat manusia belajar untuk saling berinteraksi, saling memberi dan menerima, saling mengoreksi, menegur, dan saling melengkapi, bahkan melalui komunitas kita akan dapat menciptakan sebuah sinergi yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh kita masing-masing. Tanpa komunitas (orang lain) kita tidak dapat melihat diri kita secara utuh. Komunitas layaknya cermin bagi kita untuk tidak hanya sekedar memampukan kita untuk melihat sisi dan sudut pandang yang mungkin sama sekali berbeda, lebih dari itu komunitas menjadi sarana untuk memperbaiki diri. Dan ketika manusia mulai mengerti makna komunitas sesungguhnya, disitulah rasa memiliki atau sense of belonging baru dapat ditumbuhkan. Selama manusia memandang komunitas hanya sebagai pelengkap, rasa memiliki tidak akan pernah timbul apalagi rasa peduli dan tanggung jawab.

Kita dapat belajar banyak tentang sebuah komunitas dari tubuh kita ini karena komunitas yang sesungguhnya dapat digambarkan sebagai kesatuan tubuh dalam 1 Kor 12: 14-18. Ketika mata tidak memiliki sense of belonging sebagai bagian dari tubuh maka ia tidak akan peduli terhadap apapun yang terjadi pada anggota lainnya. Begitu pula ketika mata terserang penyakit, maka anggota tubuh yang lainnya juga tidak akan memperdulikkannya apalagi ikut bertanggung jawab atas sakit yang dideritanya, karena ia bukan anggota tubuh. Apa jadinya bila kaki kita terluka tapi tangan tidak mau bekerjasama dengan mata untuk bisa mengobati kaki kita? Rasa memiliki juga tidak akan timbul dengan sendirinya bila kita tidak memiliki kesadaran bahwa kita memang butuh orang lain, seperti layaknya mata tetap membutuhkan tangan, tangan tetap membutuhkan kaki, dan kaki juga tetap membutuhkan anggota tubuh lainnya untuk dapat hidup dan menjadi organisme yang saling mendukung bahkan meningkatkan kualitas masing-masing anggota.

Sama seperti ketika kita berkata: ”Kan gw bukan pengurus jadi ga usahlah cape2 mikirin komisi pemuda”, ”kan gw hari ini ga tugas jadi ga usah lah dateng tepat waktu”, ” kan gw bukan anggota jemaat jadi ga usahlah ikut melayani ” ketika kita tidak punya kesadaran bahwa kita masing-masing punya peran dalam suatu komunitas untuk saling membangun dan menjadikan komunitas ini bertumbuh ke arah yang lebih baik, baik itu sebagai pengurus, jemaat, pelayan ibadah, maka kita akan menjadi pemuda-pemudi yang cuek aje, boro-boro mau tanggung jawab, gereja ada masalah juga ngak peduli. Jadi bukan sesuatu yang aneh bila banyak jemaat datang ke gereja ketika hanya ingin dibaptis, dinikahkan dan dikuburkan. dan ketika gereja tidak maju-maju jangan salahkan pendetanya, jangan juga hanya menyalahkan majelisnya, pengurusnya, karena sebenarnya kita semua bertanggung jawab terhadap gereja kita.

Jadi petama-tama yang perlu kita lakukan adalah mensyukuri segala komunitas yang kita miliki dalam hidup kita, baik itu komunitas dalam kuliah, dalam pekerjaan, dalam gereja. Dan tentunya tidak berhenti pada ucapan syukur semata, karena ungkapan syukur juga perlu ada bukti nyata, bukan hanya dalam doa: ” Tuhan kami mengucap syukur atas komisi pemuda yang temapt kami dapat melayani, beribadah dan belajar bersama”, tapi terutama dalam tindakan yang mampu menunjukkan rasa syukur kita. Tapi sebelumnya mengapa kita perlu bersyukur atas komunitas yang bisa kita miliki hingga saat ini?

1. Karena komunitas adalah pemberian Allah bagi kita sebagai sarana untuk belajar, memperbaiki diri, melengkapi diri, saling mendorong dalam kasih dan pekerjaan baik. Ib 10:24-25

2. Karena komunitas adalah sarana juga bagi kita untuk dapat mengasihi Allah, karena kasih terhadap Allah harus juga dibuktikan dengan kasih terhadap manusia.Mat 25: 35-36, 40

Kini bagaimana caranya supaya kita bisa memiliki rasa memiliki dalam komunitas kita:

Kita perlu menjadi manusia yang sadar bahwa tidak ada seorang manusiapun yang hidup untuk dirinya sendiri. Rom 14:7.

Dengan kesadaran itu maka kita juga harus belajar untuk terbuka bagi orang lain. Belajar melihat orang lain bukan ancaman bagi dirinya, bahkan orang lain dapat melengkapi dirinya.

Bila kita sudah punya semua itu, paling tidak dua hal diatas, wujudnyatakan dalam segala tindakan kita. Tunjukkan bahwa kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjadikan komunitas kita menjadi lebih baik, dimanapun itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar