Jumat, 29 Mei 2009

Memandang ke Depan

Filipi 3: 13
“Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku”

Ibrani 12: 2-3
“Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.”


Pertanyaan:
1. apa arti memandang?
2. apa arti ke depan?

Memandang: memandang memiliki arti harafiah mengarahkan padangan, mengarahkan mata untuk dapat melihat dan mengamati. Memandang tidak hanya berarti sesuatu yang dapat dilakukan oleh mata. Mata memang adalah jendela dunia. Dengan mata kita memperoleh banyak pengetahuan, pengalaman dan lain sebagainya. Tapi nampaknya bukan hanya mata yang mempu menjadi jendela dunia, karena pun orang yang memiliki mata belum tentu dapat melihat kebenaran. Mata adalah organ yang terbatas dan memiliki kelemahan.

Bagi Paulus menatap ke depan, bukan berati melihat apa yang ada di depan mata manusiawinya, namun apa yang berada di depan mata imannya. Yaitu rencana dan rancangan Allah baginya. Ketika ia berbicara tentang apa yang ada di depannya, bukan berarti ia sudah tahu dengan pasti dan jelas apa yang akan ia hadapi. Apa yang didepannya masih tampak buram bahkan tak nampak apapun, tapi itulah bukti dari keberimanannya kepada Allah. imannya-lah yang menuntun ia untuk dapat menatap apa yang ada di depan bukan hanya menatap masa lalu.

Baginya menatap ke depan juga bukan karena ia telah benar-benar menjadi manusia baru, telah benar-benar menjadi serupa dengan Allah, telah benar-benar mengenal Allah, dan telah sempurna. Ia tahu dengan pasti ketika ia tidak mampu melepaskan masa lalunya, maka masa lalu akan menjadi rantai yang menahannya untuk dapat maju. Ia sadar bahwa masa lalu dapat menjadi pusaran air yang menariknya hingga ia sungguh tenggelam dan akhirnya mati.
Apa masa lalu bagi kita?
- perasaan bersalah: gue berdosa
- perasaan tidak berharga: gue ga layak
- perasaan ditinggalkan: orang tua, sahabat, pacar gue meninggalkan gue
- perasaan dikhianati: gue dibohongin
- perasaan disakiti: gue dipukulin
- perasaan diremehkan: gue dibilang bodoh
- perasaan dilecehkan, dsb...

kita tidak akan dapat maju menjadi pelayan yang berfungsi secara utuh dengan terus digelayuti oleh masa lalu.
Tentunya menatap masa depan bukan sembarang masa depan. Masa depan yang ada di hadapan kita tetap terdiri dari berbagai jalan dan berbagai cara untuk melewatinya. Jadi, sebelum melangkah kita juga perlu menentukan dan memilih masa depan seperti apa yang kita harapkan dan impikan. Masa depan yang pasti, yang tidak pasti, yang mudah menggapainya atau yang sulit tergapai?
Bagaimana caranya?
1. Tentukan tujuan hidup! Kemana kita akan membawa hidup kita? Hidup yang berkemenangan atau hidup yang merana oleh berbagai masalah penghidupan?

Bila kita menginginkan hidup yang bekemenangan, maka carilah sosok yang mampu menunjukkan dan menuntun kita kepada kemenangan. Tentu ia haruslah menjadi orang yang tahu apa itu kemenangan, lebih dari itu ia sendiri harus juga telah merasakan kemenangan. Bagi Paulus, sosok itu adalah Yesus seorang. Kenapa?
1. karena hanya Yesus yang mampu membawanya kepada kesempurnaan iman.
2. karena hanya Yesus yang memberinya teladan untuk dapat tekun memikul salib.
3. karena hanya Yesus yang dapat memberikan sukacita yang sejati itu dalam dirinya.
4. karena hanya Yesus yang menjadikannya pribadi yang tekun
5. karena hanya Yesus yang membuatnya dapat menahan hinaan dan bantahan dari manusia
6. dan hanya Yesus yang membuatnya kuat, tidak lemah dan putus asa.

Bagi paulus tidak ada satupun manusia yang bisa melakukan apa yang Yesus lakukan baik sebagai manusia, maupun sebagai Allah. Ia adalah sosok yang dalam hidupnya mampu menunjukkan kesempurnaan total, tanpa cela sedikitpun.

Masa depan bukan hanya milik Allah semata, namun juga milik kita, kita yang memilih, menentukan kemana kita akan melangkah. Tuhan telah memberi kita jalan, Dia jugalah yang telah memberi kita teladan untuk dapat melakukan apa yang baik. Tapi ingat bahwa andil kita sangatlah besar dalam menentukan masa depan. Tuhan tidak akan mengubah nasib kita bila kita sendiri tidak mau mengubahnya. Itulah kehendak bebas!!

Percaya

Percaya adalah merasa aman,
ketika dunia memberi kita berbagai macam bahaya.
Percaya adalah merasa damai
Ketika dunia memberi kita beragam kegelisahan
Percaya adalah merasa sukacita
Ketika dunia hanya menawarkan kita dukacita dan ratap tangis
Percaya adalah memiliki pengharapan penuh
Ketika dunia berkata tidak!
Percaya adalah tetap memandang ke atas
Ketika semua orang menarik kita ke bawah
Percaya adalah tetap memberi yang terbaik
Ketika semua orang mengecam dan mengejek apa yang kita lakukan
Percaya adalah bertahan
Ketika tidak ada satupun yang dapat dipertahankan

Percaya adalah....
Dengan pikiran, hati, dan tubuh yang dianugerahkan kepada kita,
kita melayani dan memberkati banyak orang dengan Kasih Allah

Kekuatan Baru

Roma 5:1-11

Tujuan:
- remaja memiliki daya juang dan mental yang pantang menyerah, sehingga tidak mudah menyerah ketika menghadapi masalah ataupun lari dari masalah.
- remaja dapat melihat bahwa dalam setiap masalah ada sesuatu yang baik, yang indah dan yang patut dirayakan.

Apa yang ada di benak rekan-rekan ketika pertama kali mendengar kisah bunuh diri David Hartanto di NTU? Wah ko bisa yaaaa? Pasti ga tahan tuh sekolah di NTU, pasti putus asa karena beasiswanya dicabut, pasti imannya ga kuat? Dan lain sebagainya. Hampir semua pihak berkata bahwa David mengalami depresi hingga memberanikan dirinya mengambil jalan bunuh diri. Kenapa ya? Bukan karena NTU adalah sekolah yang terkenal membebani para mahasiswanya, namun karena itulah pandangan masyarakat terhadap generasi muda masa kini. Generasi yang tidak tahan banting, generasi yang lemah, yang tidak mau susah, tidak bisa hidup pas-pasan, generasi yang terbiasa hidup nyaman oleh berbagai fasilitas. Betulkah kita termsuk dalam generasi seperti itu? Ataukah itu hanya pandangan orang yang keliru.

Tentu benar atau tidaknya pandangan itu, lebih baik kita menilik diri kita sendiri. Apakah kita memang menjadi generasi yang lemah? Atau kita mampu memberikan bukti bahwa kita tidak selemah pandangan orang? Rekan-rekan pernah mendengar tidak ada asap bila tidak ada api? Masyarakat tidak akan memandang bahwa kita adalah generassi yang lebih suka hura-hura daripada bekerja keras bila mereka tidak melihat realita bahwa kita memang generasi yang lemah. Mau bukti? Berapa banyak berita di televisi yang mengabarkan anak-anak yang bunuh diri atau paling tidak mencoba untuk bunuh diri hanya karena dimarahi orang tua, tidak dibelikan apa yang diinginkan, diejek teman, diputusin pacar dan lain sebagainya.

Apakah ada dari kita yang kena panas sedikit ga bisa tidur, disuruh naik angkot karena pak sopir pulang kampung ngambek, soal ujian tidak sesuai dengan kisi-kisi marah, makan hari ini Cuma sama tempe tahu ngambek.... dsb. Seperti itukah sesungguhnya potret kehidupan kita? Kalau memang begitu adanya, tiak mengherankan bila kita dicap sebagai generasi yang manja.

Kenyataan bahwa hidup semakin sulit adanya memang tidak dapat dipungkiri lagi. Tantangan memang akan semakin berat baik itu di dunia ekonomi, sosial, pendidikan dan lain sebagainya. Krisis global tidak hanya melanda bidang ekonomi saja. Banyak dari manusia mengalami krisis identitas, percaya diri, moral, hingga iman. Semakin besar tantangan, semakin besar juga erosi yang ditimbulkannya. Tantangan jaman secara tidak sadar telah mengikis identitas manusia sebagai makhluk yang serupa dan segambar dengan ALLAH. Hasilnya? Betapa mudah manusia putus asa. Bunuh diri menjadi pelarian yang dirasa ampuh untuk menyelesaikan masalah.

Bagaimana dengan kita yang menyebut diri orang percaya dan pengikut Kristus. Paulus berkata, bagi kita orang-orang yang dibenarkan oleh iman, hidup dalam damai sejahtera merupakan jaminan. kita juga menjadi orang-orang yang menerima kemuliaan Allah dan orang-orang yang berpengharapan. Lebih dari itu semua Paulus menyebut kita sebagai orang-orang yang mampu bermegah dalam kesengsaraan.

Jemaat Roma pada waktu itu bukanlah jemaat yang berada dalam kenyamanan dan rasa aman. Mereka berada dalam kondisi yang begitu memprihatinkan, mereka ditindas dan dianiaya oleh pemerintahan kaisar Claudius. Pertanyaan yang mungkin muncul dalam benak kita adalah bagaimana kita dapat bermegah dalam kesengsaraan sekaligus hidup dalam damai sejahtera? Kesengsaraan dan damai sejahtera saja adalah sesuatu yang paradoks. Mungkinkah orang yang berada dalam keadaan sejahtera mamou merasakan damai sejahtera? Bagi manusia biasa memang tidak mungkin, namun bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin. Itulah yang disebut dengan berpengharapan.

Namun bagaimana cara menjadi orang yang berpengharapan? Tentunya, apa yang menurut manusia mustahil untuk dilakukan, sering kali menjadi halangan terbesar untuk menjadi orang-orang yang berpengharapan. Jadi:
1. Thingking Positive. Belajar untuk berpikir positif bukan hanya berarti menjadi orang yang optimis, “ Badai Pasti Berlalu.” Namun juga dapat berkata: “Badai memberiku banyak pelajaran berharga.” Dalam kata lain, orang yang berpikir positif adalah orang yang mampu mengambil hikmah dalam setiap hal termasuk hal negatif, hal yang menyakitkan, dan yang membuat dirinya menderita. Hanya orang yang mampu mengambil pelajaran dari hal-hal yang paling menyakitkan sekalipun yang mampu bermegah dalam kesengsaraan. Baginya kesengsaraaan akan menimbulkan ketekunan, ketekunan akan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji akan menimbulkan pengharapan. Jadi, menjadi orang yang berpengharapan tidak dapat diwujudkan dalam waktu yang instan. Orang yang berpengharapan haruslah terlebih dahulu menjadi orang yang memiliki:
2. Ketekunan. Tekun bukanlah sifat yang dimiliki oleh semua orang. Tapi setiap orang anak Allah diminta untuk tekun. Tekun bukan hanya rajin, namun juga pantang menyerah. Kesulitan apapun tidak membuat ia menyerah selama masih berada dalam batas kemampuannya. Setia, tabah adalah kata-kata yang cukup menggambarkan arti ketekunan. Jadi untuk menjadi orang yang tekun, mulailah menjadi orang yang setia. Menghadapi ulangan matematika dan fisika bisa menjadi sesuatu yang menyebalkan, bila kita tidak mau setia dalam melatih soal-soal, begitu juga dengan ulangan antropologi atau geografi bila kita enggan untuk menghafal. Sesulit dan se-tidak suka apapun pelajarannya akan tetap kita pelajari, dan bukan berkata: “malas ah saya ga bakat.”
3. Tahan Uji. Ketika rekan rekan membeli piring atau mangkuk tahan panas apa harapan rekan-rekan? Tentunya harapannya adalah baik piring maupun mangkuk yang dibeli sungguh2 tahan panas bukan? Apa jadinya bila mangkuk atau piring tu ternyata tidak tahan panas? Kita akan mengatakan: ”Wah yang jualannya nipu nih!” Tahan panas, tahan banting termasuk tahan uji tidak hanya menjadi janji palsu tanpa pembuktian. Bagaimana kita tahu bila kita adalah pribadi yang tahan uji tanpa pengalaman yang mampu membuktikan bahwa kita sungguh tahan uji. Jadi janganlah takut bila kita diuji oleh berbagai macam masalah dan pergumulan, karena dari itu semualah ketahanan kita sungguh diuji. Kualitas seorang manusia dilihat bukan ketika ia sedang berbahagia, nyaman dan aman dengan dirinya, namun ketika ketidaknyamanan, kesulitan, dan ujian datang menempanya untuk menjadi manusia yang semakin berkualitas. Sebilah pedang tidak akan menjadi pedang yang berkulitas bila ia tidak mau ditempa, begitu pula sebutir berlian tidak akan menjadi berlian yang indah tanpa mau digosok dan diasah.
4. Berharap. Berharap bukan bermimpi, bukan pula bercita-cita. Pengharapan yang diberikan Tuhan adalah pengharapan yang sia-sia, namun pengharapan yang pasti dan tidak mengecewakan. Pengharapan dari Allah adalah pengharapan yang membawa kita kepada kasih karunia yang tak ternilai yaitu kematian yang membawa hidup kekal dan yang memperdamaikan manusia dengan Allah dan sesamanya.



Kini, sebagai anak-anak pengharapan, mari kita tanya pada diri kita dan kepada realita:
Berapa banyak remaja yang mencari geliat kehidupan malam, hanya karena tidak mampu menemukan kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup?
Berapa banyak remaja yang tenggelam kehidupan seksualitas yang bebas, hanya karena tidak mampu menemukan cinta yang sejati?
Berapa banyak remaja yang terjerumus pada narkoba dan obat-obatan terlarang, hanya karena hidup yang nampak tak bersahabat dengan mereka?
Berapa banyak remaja yang lebih suka mengambil jalan instan (membeli soal, mencontek), hanya karena merasa diri tidak mampu untuk menjadi yang terbaik?
Berapa banyak remaja yang tidak dapat menjadi inspirasi, hanya karena ia tidak mampu mengenal siapa dirinya, kekuatan dan potensinya untuk mengubah dunia?
Berapa banyak remaja yang tidak mampu mengambil keputusan yang terbaik, karena ia mendengar semua orang berkata “kamu tidak mampu berbuat apa-apa?”
Berapa banyak remaja yang merasa dirinya tidak berharga, hanya karena perkataan yang tidak bertanggung jawab dari orang orang terdekat mereka?
Berapa banyak remaja ‘mati suri’ dalam kemudaan mereka, karena semangatnya dibelenggu, suaranya dibungkam, langkahnya dijerat oleh tradisi dan budaya?
Berapa banyak remaja yang tak mampu menjadi teladan, hanya karena stigma “kalian masih bau kencur”?

Pergumulan boleh datang, pencobaan boleh datang, masalah boleh menghampiri kita, namun ingat bahwa kita tidak akan pernah ditinggalkan oleh tangan Tuhan yang tak terlihat.

“Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” 1Timotius 4: 12

Jumat, 15 Mei 2009

Kasih Seorang Sahabat

Kis 10: 44-48
Maz 98: 1-9
1 Yoh 5: 1-6
Yohanes 15 9-17


Pertanyaan:
1. Apa makna seorang sahabat bagi manusia?
2. Mengapa Allah menempatkan diriNya sebaai sahabat bagi manusia dan bukan lagi hamba?
3. Apa konsekuensi menjadi seorang sahabat Tuhan, dibanding dengan menjadi sahabat seorang manusia?

Masihkah kita dapat menemukan sahabat yang sungguh menjadi teman di kala duka dan susah? Masihkah dapat kita temukan seorang sahabat yang mampu bersikap lebih dari seorang saudara sekalipun? Agaknya, kita mendapati banyak kesulitan dalam menemukan seorang sahabat seperti itu bukan? Yang marak kini adalah istilah: “Jeruk makan Jeruk”, “pren makan pren.” Sahabat dunia, tak ada bedanya dengan serigala berbulu domba, yang siap menyergap dan menyerang kita ketika kita lemah. Mereka bukan menjadi oase, yang mampu memberikan kesegaran, ketenangan bahkan menjadikan kehidupan menjadi lebih hidup. Alih-alih mereka menjadi duri dalam daging, yang sering kali menjerumuskan, menjatuhkan, dan akhirnya mengambil segala sesuatu yang berharga bagi hidup sahabatnya.

Tidak sedikit remaja atau pemuda yang mengeluh, bahwa sahabat yang dimilikinya mengambil kekasihnya, menjerumuskan ia kepada hal negatif (narkoba, seks bebas, kehidupan malam, dan lain sebagainya). Tak mengherankan Paulus menasihatkan kita bahwa pergaulan yang buruk sungguh akan merusakkan kebiasaan yang baik. Manusia yang seharusnya hadir untuk manusia lain sebagai sesama ciptaan Tuhan, menjadi musuh dan penghianat yang paling kejam bagi sesamanya itu.

Tuhan tahu pasti bahwa tidak ada seorang manusiapun yang dapat hidup dengan dirinya sendiri. Semua manusia membutuhkan teman, manusia lain tidak hanya untuk bersosialisasi, namun terutama untuk saling melengkapi dan mengisi satu dengan yang lain. Untuk itu Ia hadir tidak hanya sebagai Tuhan, sebagai Tuan, Hakim, Bapa, namun juga sebagai sahabat. Sahabat adalah sesama yang terdekat, bukan hanya untuk sekedar menemani, namun juga jadi tempat bersandar yang dapat diandalkan. Teman yang ada ketika masa-masa sulit sekalipun menghampiri kehidupan manusia. Mereka yang tidak hanya ada ketika kita bahagia, tertawa, namun mereka yang mampu menangis bersama kita yang menangis, berduka bersama mereka yang berduka, dan bersusah payah bersama mereka yang bersusah payah.

Sebagai seorang sahabat, Tuhan juga tidak membangun tembok, bahkan ia tidak membiarkan tembok-tembok manusia menghalangi kasihNya yang terlampau besar untuk dapat dimengerti dan dipahami manusia seperti kita. Ia menghancurkan apa yang dianggap manusia sebagai pembatas diantara aku dan dia, kita dan mereka. BagiNya sahabat bukanlah orang yang hanya hadir bagi sesamaku ‘semua yang sama denganku’ (sama latar belakang, sama suku bangsa, sama tingkat ekonomi, sosial, sama denominasi gereja, ajaran, hingga kepercayaan dan agama yang sama), dan merasa bahwa mereka yang ‘berbeda’ tidak layak menjadi seorang sahabat bagi kita. “Nggak level lah!”, “Bersahabat dengan mereka yang bukan Kristen? Wah itu namanya mengkafirkan diri! Karena terang dan gelap tidak akan pernah dapat bersatu.” Adakah kita sering kali berlaku seperti itu? Siapa yang mengatakan kita terang dan mereka gelap? Yakinkah kita bahwa kita adalah terang dan yang lain, yang berbeda dengan kita adalah gelap? Wah...kita lebih dari Tuhan ya.... ketika kita berani menghakimi bahwa orang lain gelap dan hanya kita yang terang!!

Tuhan hadir bagi semua orang, bukan hanya bagi kita yang dianggap dan menganggap diri mampu menjawab panggilan Tuhan. Ia hadir bagi semua bangsa dan semua kepercayaan yang pernah ada di muka bumi ini. Tidak ada yang lebih spesial, lebih berharga, dan lebih diutamakan. Semua manusia sama di hadapan Tuhan, sama berharganya, sama dianggapNya sebagai sahabat.

Berbeda dengan Tuhan yang menjadi sahabat bagi semua ciptaanNya, kita lebih suka memilih siapa yang boleh menjadi sahabat bagi kita dan mana yang tidak. Termasuk ketika kita menganggap bahwa Tuhan hanyalah milik kita dan bukan milik bangsa-bangsa lain, kepercayaan lain, agama lain. Yesus hanya milik orang Kristen. Ketika kita mulai mengklaim bahwa Yesus hanyalah milik kita, maka secara tidak sadar kita mulai memenjarakan Yesus dalam kerangka berpikir kita, dengan logika kita, dalam dogma kita, dan kita tidak membiarkan Ia bebas, selayaknya Ia sebagai Tuhan dan pencipta semua manusia. MenjadikanNya sahabat kita seorang dan tidak bagi yang lain, sama dengan menutup karya Tuhan bagi mereka. Akhirnya, nampaklah keegoisan kita sebagai manusia yang memang lebih suka menang sendiri, selamat sendiri, dan bahagia sendiri, daripada memperkenalkan kepada orang lain bahwa Yesus adalah sahabat yang sejati bagi manusia.

Kini, bagi kita yang merasa menjadi sahabat-sahabat Allah dan mengklaim Allah sebagai milik kita, adakah kita menajdi sahabat yang baik bagi Tuhan? Tuhan adalah sahabat yang sejati adalah klaim yang tidak perlu dipertanyakan ulang. Namun bagaimana dengan kita? sudahkah kita juga menjadi sahabat yang baik bagiNya, yang membuatNya betah berteman dan bersahabat dengan kita, dan tidak membuatNya mencari sahabat yang lain? Apa ciri yang harus kita miliki untuk menjadi seorang sahabat yang baik bagi Allah?
1. Mengasihi Allah. mudah untuk dikatakan namun sulit untuk dilakukan. Mengasihi Allah bukan hanya dengan melayani di gereja, bukan dengan rajin datang beribadah di gereja, bukan juga dengan memberikan persembahan yang banyak bagi gereja. Mengasihi Allah harus dinyatakan dengan kasih kita kepada manusia lain. Mengasihi Allah yang diungkapkan oleh Rasul Yohanes, menggunakan kata agapao. Apa maknanya bagi kita? bahwa mengasihi Allah tidak dapat dilakukan dengan kasih kita sebagai manusia yang terbatas, yang hanya mengasihi kalau ada keuntungan yang dapat diperoleh, yang mampu mengasihi bila dikasihi terlebih dahulu. Mengasihi Allah dengan kasih yang juga dariNya, dengan standarNya yaitu dengan caraNya, dengan ketulusanNya. Sanggupkah? Pekerjaan yang berat bukan? Jadi jangan pernah bangga dan berkata bahwa kita mampu mengasihi Allah. Kita hanya mampu mengasihi Allah bila Allah memberi kita kemampuan, kekuatan, hikmatNya kepada kita. Sebagai manusia, jangan pernah sombong bila kita menilai diri mampu mengasihi Allah, KARENA TIDAK ADA MANUSIA YANG BISA!!
2. melakukan perintahNya. Kasih terkadang terlalu ambigu untuk dinyatakan hanya dalam kata dan kalimat. Wujud paling nyata dari kasih hanyalah perbuatan. Tanpa perbuatan nyata kasih kita kepada Allah hanyalah janji dan omong kosong semata. “Tong kosong nyaring bunyinya” Yohanes menggunakan kata tereo, yang maknanay lebih kepada memelihara. Memelihara berarti bukan hanya melakukan, tapi juga merawatnya, memberi makan, melakukan segala cara agar Firman itu tidak berlalu begitu saja, bahkan mampu bertumbuh dengan sehat, berbuah baik, manis, tidak masam, tidak kering, tidak dimakan kutu, benalu dan lain sebagainya. Sehingga Firman Tuhan dapat bertumbuh subur, menghasilkan buah baik melalui perbuatan baik. Tidak sulit kok! Dengan iman bahwa setiap kita lahir dari Allah dan memiliki Roh Allah yang besar yang memberikan segala sesuatu yang kita butuhkan untuk menjadi anak-anakNya yang taat. Tentunya, bila kita juga mau. Orang yang tidak mau tidak akan bisa dipaksa. Orang yang diberikan kesempatan, bahkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemenang, tidak akan menjadi pemenang bila ia tidak mau bertanding dan membuiktikan bahwa ia layak disebut sebagai pemenang.
3. Tinggal dalam KasihNya. Kata tinggal disini tidak sama artinya dengan tinggal di rumah. Dimana ada saatnya kita meninggalkan rumah untuk bekerja, bersekolah, berbelanja. Rumah yang seringkali hanya menjadi tempat bagi manusia untuk beristirahat setelah seharian berada di luar rumah untuk beraktivitas. Dengan memperlakukan Tuhan sebagai hanya sebagai rumah tinggal akan menjadikan kita manusia yang datang kepada Tuhan hanya bila ada persoalan, ketika duka cita datang menghampiri, ketika tubuh ini sudah lelah untuk beraktifitas menghadapi problema hidup. Jadi? Jadilah seekor siput yang membawa rumahnya kemanapun ia pergi. walaupun rumahnya itu terkadang terasa berat dan keras, dibandingkan tubuhnya yang lembut dan lemah, namun ia yakin disitulah pertolongan dan perlindungannya. Hanya dalam rumahnya ia merasa aman, damai, sukacita, bahkan kuat. Sehingga cuaca seperti apaun tidak akan dapat menggoyahkannya. Aman dan terlindung dengan kasih yang tak pernah akan habis dan terkikis oleh jaman, dan kerasnya hidup.

Akhirnya, jangan buru-buru mengatakan bahwa kita adalah sahabat2 Allah bila kita tidak pernah dapat menunjukkan bahwa kita layak disebut sahabat-sahabat Allah. AMIN

Kamis, 14 Mei 2009

ImanYang Mana?

Iman yang Mana?

Beriman? Buat apa beriman?
Apa dengan beriman, kau bisa kenyang?
Apa dengan beriman kau bisa dapat uang banyak?
Apa dengan iman kau bisa memenuhi kebutuhanmu?

HANYA ORANG BODOH YANG TIDAK BISA BEKERJA
YANG MENGANDALKAN IMAN TAHU!!!

Dasar gila!!!
Kau tahu tidak kalian ini bukan Tuhan!!
Kita hanya manusia yang bisa mati kapan saja dan kalian juga bukan manusia super yang bisa melakukan apa saja!!
Iman itu hanya khayalan!

Segala sesuatu perlu dibuktikan bukan hanya ditelan mentah-mentah.
Apa kalian percaya bila dulu orang mengatakan bumi ini bulat? Tidak bukan!!
Apakah kalian percaya bila dulu orang mengatakan manusia pasti bisa mencapai bulan? Tidak juga bukan!!!
Aku tidak akan pernah percaya, dan tidak akan pernah beriman.

Aku hidup menggunakan rasioku, otakku dan bukan hanya harapan yang sia-sia!!

Silahkan saja kalian menunggu dan tidak usah berbuat apa-apa, biar imanmu yang memberi kalian pakaian dan makanan!! Huh dasar gila!!! (pergi)




Arti Ketaatan

Apakah arti sebuah ketaatan bagimu?

N1: Anakku mengapa sulit bagimu untuk dapat taat kepadaKu?

N2: Karena aku dilahirkan bukan untuk taat Tuhan. Aku membawa dosa nenek moyangku yang tidak mampu kulepaskan.

N1: bukankah kau telah setuju untuk mengikut Aku? Apa janjimu hanya basa basi belaka? Atau kau hanya mampu berkata dan tidak mau melakukannya?

N2: Tuhan, tolonglah mengerti aku, tidak mudah untuk melakukan semua itu!Aku kan hanyalah manusia biasa yang penuh dengan kelemahan, aku manusia yang tidak sempurna bukan? Itu yang kau ungkapkan dalam FirmanMu, bahwa semua manusia berdosa, jadi salahkah aku bila aku berdosa?

N1: Anakku, dosa itu bukan takdir, dosa adalah pilihan! Ketika kau memilih untuk berdosa maka dosa itu akan datang. Itu pilihan hidupmu!!

N2: Tapi Tuhan, siapakah aku ini, aku ini manusia yang lemah, bukan manusia super...

N1: Percayakah kau bila Aku katakan tidak ada yang mustahil dalam hidup bila kau menjalaninya bersamaKu?

N2: Aku percaya Tuhan.. hanya saja....

N1: Hanya saja kau enggan meninggalkan kehidupanmu yang lama itu, dan membiarkan Aku yang menguasai hidupmu! Engkau malas untuk bertobat, meninggalkan semua yang kau pikir berharga dalam hidup. Kau lebih suka bermanja-manja, seperti anak balita yang baru belajar makan bubur! Ingat kau manusia dewasa yang sudah dapat memilih!! Pertobatan dan ketaatan adalah pilihan!!


A

Kamis, 07 Mei 2009

Kesetiaan Abraham


Kejadian 22: 1-14

Pertanyaan:
1 apa yang disebut dengan kesetiaan?
2 mengapa banyak manusia yang tidak setia?
3 hal apa yang mendorong manusia untuk dapat setia? (melalui tokoh Abraham)

Mudahkah bagi kita untuk setia kepada Tuhan? Tidak usah kepada Tuhan yang tidak kelihatan, kepada sesama manusia yang nyata hadir di hadapan kita saja, kesetiaan menjadi sesuatu yang amat sulit untuk dilakukan. Masih adakah kesetiaan didapati di muka bumi ini? Jangan jangan kesetiaan hanyalah omong kosong, dan sebuah wacana tanpa realisasi. Termasuk ketika gereja berjanji untuk setia dalam pelayanan dan pengabdiannya kepada Tuhan sebagai kepala gereja. Kesetiaan nampak hanya dalam pujian dan kotbah, namun tidak dalam kehidupan yang sesungguhnya. Gereja menjadi bermuka dua. Kesetiaannnya tergantung pada situasi dan kondisi. Bila situasi sungguh menguntungkan maka kesetiaan menjadi sesuatu yang mudah ditunjukkan, namun ketika situasi membahayakan, tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan bahkan membuat hidup menjadi tak nyaman, maka kesetiaan dibuang jauh-jauh.

Apa sesungguhnya makna dari kesetiaan? KBBI mendefinisikan kata setia sebagai: berpegang teguh pada janji, dan pendirian, patuh, taat: seberat apapun tugas yang harus dijalankan, ia tetap melaksanakannya. Memiliki keteguhan hati untuk melakukan pekerjaan apapun resiko yang harus dihadapi. Melihat definisi yang diberikan oleh KBBI nampaknya kesetiaan memang bukan suatu yang mudah untuk dijalankan. Menjadi setia butuh dari sekedar kemauan, namun juga kekuatan untuk keluar dari rasa nyaman dan aman. Memberi diri untuk menemukan dan menjalankan hal-hal yang tidak menyenangkan sebagai konsekuensi dari kesetiaannya.

Itulah yang dialami oleh seorang Abraham, ketika ia dituntut untuk dapat membuktikan kesetiaannya kepada Allah. Bapa mana yang tega membunuh anak kesayangannya, dengan tangannya sendiri, sebagai korban bakaran? Permintaan Allah memang menjadi permintaan yang sangat tidak masuk akal sekaligus memberikan tantangan bagi Abraham untuk dapat membuktikan kesetiaannya. Apa yang dialami oleh Abraham menimbulkan tidak hanya pergumulan batin yang besar, namun dapat juga menimbulakan keraguan kepada Allah yang telah berjanji untuk menjadikan keturunannya menjadi bangsa yang besar.

Abraham bisa saja menjadi orang yang pertama kali ragu kepada Allah karena permintaanNya itu. Namun nampaknya permintaan yang tidak masuk akal sekalipun, tidak menggoyahkan iman percaya Abraham kepada Allah. Ia tidak mempertanyakan permintaan itu, alih-alih mempertanyakannya, ia dengan taat mengikuti apa yng dikehendaki oleh Allah untuk ia lakukan. Apa sesungguhnya yang membuat Abraham begitu teguh dalam imannya kepada Allah?
1. Abraham secara pribadi telah mendapat jaminan dari Allah. Hingga masa tuanya, Abraham tidak memiliki seorang anak, sehingga ia mengangkai Elizer, seorang budak yang lahir dari keluarga budak milik Abraham, menjadi ahli warisnya. Tapi Abraham, di masa tuanya mendapatkan suatu jaminan dari Tuhan bahwa ia sendiri akan memperoleh seorang anak. Di usianya yang ke 100 tahun lahirlah Ishak bagi Abraham dari Sara. Apa yang tidak mungkin bagi manusia mungkin bagi Allah, termasuk kelahiran Ishak dari Sara yang sesungguhnya sudah memasuki usia tidak produktif. Itulah yang membuat Abraham yakin bahwa Jaminan yang diberikan Allah bukanlah jaminan yang main-main, jaminan yang tidak dapat dibatasi dan dipatahkan oleh situasi dan kondisi apapun. Abraham yakin bahwa Allah akan mengingkari janjinya bukan karena ia adalah orang yang sangat beriman, namun karena Allahlah yang mengikat perjanjian dan bukan manusia biasa yang sering kali mengingkari apa yang telah dikatakannya.

2. Abraham mengenal siapa Allah dalam hidupnya. Abraham telah melihat karya Allah yang luar biasa dalam hidupnya, jauh sebelum Ishak lahir. Abraham telah mengenali panggilan Allah sejak usia 75 tahun. Panggilan Allah yang pertama itulah yang membuat Abraham meninggalkan Haran bersama Lot, untuk masuk ke dalam negri Kanaan (12: 1-9). Bahaya kelaparan telah memaksa Abraham pergi ke Mesir melalui Negeb. Di Mesir, ia dan Sarai dapat lolos dari Firaun karena Allah mendatangkan tulah atas Firaun (12: 10-20). Jadi, dapat dikatakan perjalanan iman Abraham bukanlah perjalanan yang instan, yang didapat hanya dalam hitungan hari. Imannya tumbuh seiring dengan pengenalannya kepada Allah dan pengalamannya berjalan bersama Allah. Alkitab memang tidak pernah menceritakan bahwa Abraham memiliki keraguan kepada janji Allah, namun sebagai manusia, Abraham pasti pernah bertanya-tanya dalam hatinya apakah yang ia jalani saat ini adalah suatu yang benar atau tidak. Tapi apa yang kita dapat pelajari dari Abraham adalah keraguannya sebagai manusia tidak menghalangi langkahnya untuk tetap menaruh kepercayaan kepada Allah. dengan pengenalannya kepada Allah, Abraham dimampukan untuk sungguh mempercakan diri kepada Allah. Itulah yang mendasari kesetiaannya kepada Allah.

Apa yang didapatkan Abraham sebagai balasan dari kesetiaannya?
1. Abraham senantiasa berjalan dalam rencana Tuhan yang indah pada waktunya. Apa yang dianggap manusia keberuntungan? Apakah ketika manusia mendapatkan apa yang ia harapkan dan inginkan? Ataukah ketika dalam kesesakan dan ketidakpastian ia mendapat yang terbaik? Mengikuti rencana Allah tidak menjadikan hidup Abraham lepas dari kesulitan ataupun mara bahaya. Namun dalam kesulitan dan mara bahaya sekalipun, Abraham tetap dapat menemukan Allah yang memelihara segenap kehidupannya.
2. Abraham semakin dikasihi dan diberkati Allah. Jangan kita menjadi setia agar mendapatkan berkat dan kasih Allah, karena itu adalah motivasi yang salah untuk setia. Kita setia kepada Allah karena Allah setia kepada kita. Mengorbankan Ishak adalah wujudnyata kasih Abraham kepada Allah karena Allah telah memelihara kehidupannya dengan cara yang luar biasa, dan bukan karena Abraham berharap Allah menyelamatkan Ishak pada waktunya.

Rekan-rekan yang terkasih dalam Tuhan, memang banyak dari kita melihat kesetiaan sebagai suatu beban hidup. Tapi kali ini kita telah belajar dari Abraham bahwa kesetiaan kepada Allah bukan beban, namun wujud cinta kasih, ketaatan dan pengabdian yang total kepada Allah. Jangan kita menganggap bahwa Allah hanya bermain-main ataupun hanya menguji manusia ketika Ia mengikat perjanjian dengan kita, manusia. Ada pula kita yang mempermainkan Allah, ketika kita hanya mampu berjanji dan tidak melakukan apa yang telah kita ikrarkan di hadapan Allah.

Allah tidak pernah bermain-main ketika Ia berjanji kepada manusia. Ia adalah Allah yang senantiasa menepati janjiNya. Itulah juga yang menjadi bukti nyata kasih Allah kepada manusia, bahwa Ia tidak pernah takut untuk mengikat perjanjian dengan manusia, walau sesungguhnya Ia tahu dengan pasti bahwa kemungkinan manusia membatalkan perjanjian itu lebih besar. Tapi Allah tidak pernah membatalkan perjanjiannya dengan manusia walau manusia melanggar perjanjian denganNya.


Abraham telah menunjukkan kesetiaan yang luar biasa bagi seorang manusia biasa. Itulah yang menjadikannya bapa orang percaya. Pertanyaannya kini, sebagai orang percaya, anak-anak Abraham, maukah kita menunjukkan kesetiaan yang total seperti yang ditunjukkan Abraham dalam hidupnya? Maukah kita mempercayakan diri seperti Abraham, dan membiarkan hidup kita dibawa kepada kepastian Amin.


Mengasihi Dengan Rela Berkorban

Kis 4:5-12
Maz 23
1 yoh 3:16-24
Yoh 10: 11-18

Tujuan:
Anggota jemaat memiliki kepedulian kepada sesama yang mengalami penderitaan dan membutuhkan uluran kasih.

Pertanyaan;
1. apa arti mengasihi?
2. bagaimana cara Tuhan mengasihi umatNya?
3. bagaimana cara kita mengasihi?

Rela berkorban bukan hal yang mudah untuk dilakukan oleh sebagian besar masyarakat kota dewasa ini. Hidup yang semakin modern, dilengkapi oleh berbagai macam teknologi tinggi, menjadikan manusia semakin tidak perduli dengan sesamanya, lingkungan sekitarnya. Belum lagi tingkat kesibukan yang luar biasa, 24 jam sehari menjadi waktu yang sangat singkat untuk beraktivitas di tengah padatnya kota. Tuntutan hidup, pekerjaan, relasi dan komunitas harus dapat dipenuhi untuk tetap eksis di dalam geliat kehidupan kota. Boro-boro memikirkan kepentingan dan kebutuhan orang lain, kepentingan diri saja belum tentu dapat dipenuhi. Tidak mengherankan bila pada akhirnya, rela berkorban hanya menjadi materi pelajaran di sekolah yang hilang ditelan kesibukan dan kehidupan kota. Rela berkorban hanya bisa didengar dan dipelajari namun tidak untuk dilakukan.

Banyak pandangan mengapa manusia dewasa kini memilih untuk mementingkan dirinya daripada harus berkorban bagi orang lain. Ada yang berpendapat bahwa menjadi orang yang rela berkorban dewasa ini, sama dengan menjadi orang yang bodoh. Ia akan menjadi orang yang sering kali kehilangan kesempatan untuk meraih baik itu prestasi, materi, bahkan pasangan yang lebih baik, karena mengutamakan orang lain. Tidak ada manusia yang tidak menginginkan yang terbaik bagi dirinya sendiri bukan? Jadi, orang yang menyerahkan apa yang terbaik baginya kepada orang lain, atas nama rela berkorban, adalah orang yang bodoh.

Ada juga yang mengatakan, bahwa rela berkorban adalah tindakan yang merugikan diri sendiri. Ya, mungkin pandangan ini juga ada benarnya bila dilihat dari sudut pandang ekonomi. Dalam dunia ekonomi, segala hal harus mendatangkan keuntungan, baik bagi penjual maupun bagi pembeli. Menjual sesuatu yang tidak menghasilkan keuntungan sama dengan membuang waktu, tenaga dan dana. Seorang yang rela berkorban adalah seorang yang tidak mengutamakan keuntungan bagi diri sendiri, lebih dari itu, ia memikirkan apa yang menguntungkan bagi orang lain.

Semua pendapat itu memang ada benarnya. Menjadi orang yang rela berkorban adalah tantangan yang luar biasa berat, yang juga sering kali dianggap kebodohan bagi sebagian orang. Itulah juga pendapat orang tentang apa yang dilakukan Yesus, termasuk juga beberapa dari kita. Apa yang dilakukan Yesus dianggap suatu kebodohan bagi dunia. Ia dianggap mati untuk sesuatu yang sia-sia. Ia juga mempertahankan sesuatu yang tidak nyata, yang dianggap oleh dunia sebagai obsesi yang tidak kesampaian, kegilaan, dan lain sebagainya. Apakah itu juga makna kematian, dan kebangkitanNya bagi kita?

Kematian Yesus memang suatu kebodohan bagi dunia. Buat apa Yesus mati bagi manusia-manusia tidak tahu diuntung sseperti kita? Untuk apa Ia mati untuk manusia yang selalu memberontak, bahkan tidak mau mengakuiNya? Untuk apa Ia mati bagi manusia yang lebih suka menolak, memusuhi, menjadikan Ia kambing hitam, menyalahkanNYa? Untuk apa Ia susah-susah hidup di dunia yang membenciNYa? Pekerjaan yang sia-sia kah? Sungguhkah apa yang dilakukan Yesus hanyalah kesia-siaan belaka? YA. BAGI ORANG YANG TIDAK MENGERTI, YANG DIBATASI OLEH PANDANGAN DUNIA DAN BUKAN CARA PANDANG ALLAH.

Dunia tidak mengerti bahwa rela berkorban adalah wujud kasih yang paling nyata. Kasih tidak hanya diwujudkan lewat kata dan bahasa, lewat materi dan berlimpah harta benda. Kasih bukan mencari untung semata, bukan juga suatu kebodohan, kasih adalah memberikan yang terbaik yang dapat kita berikan, termasuk memberikan apa yang menurutnya paling berharga untuk dipertahankan. Kasih tidak menuntut, meminta balasan, Ia hanya ingin menyatakan apa yang ia rasakan kepada manusia.

Berbeda dengan cinta ala manusia, kasih tidak buta, kasih menunjukkan jalan yang benar dan yang terbaik untuk dilalui manusia. Hanya saja, Kasih Allah yang penuh dengan ketulusan itu telah dinodai oleh manusia dengan kesombongan, kepentingan diri, dan kepicikan. Hasilnya, bukan hanya manusia tidak lagi mampu memaknai kasih, bahkan menolak kasih itu. Bagi manusia, kasih hanyalah sebatas perasaan, yang sering kali menipu, menutup mata dan telinga. Bagi sebagian manusia pengorbanan diri bagi cinta hanya ada di dongeng dan legenda, namun tidak akan pernah ada di kehidupan nyata.

Saudara-saudara sekalian Yesus bukanlah tokoh rekaan, bukan legenda taupun dongeng. Apa yang dilakukanNya adalah sesuatu yang nyata. KasihNya itu yang membuat Dia menyerahkan diri untuk menjadi korban. Pertanyaannya adalah kasih seperti apa yang Ia miliki?

1. Kasih yang mau menyerahkan nyawa. apa dengan begitu kita harus mati? Harus menyerahkan nyawa bagi orang lain? Perbuatan bodoh apa lagi itu? Tidak seperti itu! Pun nyawa kita tidak akan bisa menggantikan nyawa orang lain. Seorang manusia tidak akan dapat menggantikan manusia lainnya. Tidak akan pernah bisa, dan tidak akan pernah sepadan. Menyerahkan nyawa dissini bukan semata-mata memberikan nyawa, tapi apakah kita memau memberikan yang paling berharga dari diri kita? Apa yang paling berharga bagi seorang manusia? Tidak lain adalah nyawanya, bukan hartanya, bukan kesehatannya, bukan anak atau orang tua, bukan juga suami atau isteri. Tapi nyawanya!!
2. Kasih yang diwujudnyatakan dengan perbuatan dan bukan hanya dengan perkataan. Berkata itu mudah bukan? Bagaimana dengan melakukan apa yang dikatakan? Banyak orang lebih mudah untuk berjanji daripada menepati janji itu. Lidah memang tidak bertulang. Sering kali kita mengatakan sesuatu berdasarkan emosi, nafsu dan hasrat tapi bukan dengan akal sehat. Namun bukan berarti mencintai hanya dapat dilakukan dengan akal sehat. Apa yang dilakukan Yesus dalam hidupNya bagi kita, sesungguhnya bukan sesuatu yang bisa diterima akal sehat. Yang pasti adalah: ketika Yesus mengatakan bahwa Ia mencintai kita, maka apa yang Ia katakan diwujudnyatakan melalui seluruh hidupNya, yaitu melakukan segala sesuatu yang benar menurut kehendak BapaNya, bukan semata-mata yang benar menurut pendapatNya.
3. Kasih yang didasarkan pada ketaatan kepada Tuhan dan bukan kepada nafsu. Apa yang membedakan manusia dengan binatang? Manusia dikuasai oleh akalnya sedang binatang pada nalurinya. Ketika seorang mengasihi manusia lain, sudah sepatutnya ia menggunakan bukan hanya emosi, dan naluri namun juga akal sehatnya. Realitanya: banyak manusia yang lebih dikuasai oleh nafsu dan nalurinya dibanding dengan akal sehatnya ketika ia mengasihi manusia yang lain. Ketika manusia sadar bahwa ia memiliki Tuhan, sebagai pemilik hidupnya, sudah sepatutnya ia memberi hidupnya bagi Tuhan dan bukan hanya untuk memenuhi nafsunya. Karena kasih kepada manusia seharusnya lahir dari kasih kepada Tuhan. Manusia dapat mengasihi orang lain, karena manusia terlebih dahulu mendapatkan kasih Allah. Oleh karena itu kasih kepada sesama juga harus dilandaskan dengan kasih Allah dan bukan kasih menurut dunia.

Mengasihi hingga berkorban diri tentunya bukan perkara mudah. Siapa manusia yang tidak memikirkan dirinya sendiri. Tapi Yesus telah menajdi teladan yang hidup bagi kita semua. Ia tidak hanya menajdi gembala yang baik, yang memberikan segala hal yang terbaik, namun juga memberikan apa yang dinggapnya sebagai sesuatu yang layak dipertahankan. Bila Dia yang Tuhan saja memberikan segalanya bagi kita yang sering kali membuatNya kecewa dan sedih. Bagaimana dengan kita? Mari kita belajar mengasihi dari hal kecil, berkorban dari hal kecil. Karena pengorbanan bukan dilihar dari berapa banyaknya yang kita berikan, namun seberapa kita berikan hati kita di dalam pengorbanan itu.
amin