Rabu, 04 Maret 2009

Pembentukan Karakter VS Pembunuhan Karakter


Kejadian 39:1-23

Diakui atau tidak, setiap manusia punya karakter yang berbeda. Setiap manusia dijadikan unik dan berbeda satu dengan yang lainnya, termasuk juga hidup di lingkungan yang berbeda, dididik dengan cara yang berbeda, dengan orang tua yang berbeda, sekolah yang berbeda, pergaulan yang berbeda bahkan tahun hidup yang berbeda. Tanpa disadari, segala sesuatu tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi pembentukkan bahkan yang ikut serta membentuk karakter tiap manusia, baik itu karakter baik maupun karakter yang kurang baik. (karena pada dasarnya manusia diciptakan baik adanya, hanya saja ketika manusia memilih untuk melakukan apa yang dilarang Allah, karakter baik itu ‘tercemar’)

Namun sebelumnya tentu kita perlu mengetahui apa sesungguhnya arti dari karakter itu sendiri? Orang menyebut karakter sebagai watak, sifat, perangai ataupun ciri. Namun nampaknya kartakter tidak hanya terbatas pada sifat saja, karena ternyata karakter bukan semata-mata bawaan genetik yang tidak dapat diubah. Misalnya dengan mengatakan: “dari sananya Bapak A adalah bapak yang pemarah, maka sepanjang usianya ia akan menjadi orang yang pemarah, tidak mungkin berubah!!” salah besar!! Karena karakter tidak dibentuk semata-mata oleh gen, namun oleh pengalaman, oleh lingkungan, oleh pengalaman manis dan pahit, bahkan oleh tekad manusia itu sendiri.

Memang benar ada karakter yang sifatnya menetap dalam diri manusia, yang dapat dikatakan sebagai karakter dasar. Namun bukan berarti tidak dapat dibentuk. Ada istilah “ kita ini adalah lempung di tangan Yang Maha” benar adanya.... apapun karakter dasar kita, kita ini adalah lempung yang tetap dapat dibentuk, tergantung bagaimana, berapa lama dan siapa yang membentuknya.

Pembentukan karakter sesungguhnya berkaitan dengan apa yang sering disebut orang sebagai pembunuhan karakter. Lho, mengapa pembunuhan? Karena ternyata baik lingkungan, pengalaman, orang tua, dan apapun yang disebut seagai faktor pembentukan tadi sekaligus juga dapat menjadi faktor yang membunuh karakter. Air misalnya, dalam kacamata teologi dan hubungannya dengan alam memiliki sifat untuk membersihkan, membasuh, dan mencuci. (itulah juga alasan kita membaptis menggunakan air dan bukan pasir atau lumpur) namun sifat dasar air yang seharusnya dapat membersihkan dan memasuh itu tercemar oleh lingkungan, sehingga secara tidak langsung karakter baik dari air tersebut dirusak bahkan dibunuh oleh lingkungan, oleh manusia. Mencuci baju dengan air yang tercemar, tidak akan dapat membuat baju yang kita cuci itu menjadi bersih.

Ira Indrawardana, seorang sahabat dan dosen antropologi di Universitas Padjadjaran memiliki definisi sendiri tentang pembunuhan karakter ini yaitu: “penistaan, jugdement, stereotipe negatif yang diperluas untuk mendiskriditkan sekelompok atau seseorang dalam bentuk agitasi atau kekerasan (violence) oleh hukum dan lain sebagainya.” Tentunya pembunuhan karakter menjadikan manusia tidak mampu melihat hidup sebagai sesuatu yang layak untuk diperjuangkan, dihargai, dipergunakan dengan sebaik-baiknya atau ketika hidup menjadikan manusia semakin terbatas, dan tidak mampu menjadi wadah bagi setiap individu untuk berekspresi serta mengembangkan diri dengan kebebasan yang bertanggung jawab. Itulah yang disebutnya “KEMATIAN DALAM HIDUP”

Kini, bagaimana kita dapat mengaitkan perbincangan kita di atas tadi dengan kisah Yusuf dari Kejadian 39: 1-23? Bagaimana karakter Yusuf dibentuk? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, baiklah kita mencari tahu bagaimana Yusuf bisa menjadi pembesar di Mesir. Yusuf adalah anak kesayangan Yakub, karena Yusuf adalah anak yang ia peroleh di masa tuanya. Karena begitu kasihnya kepada Yusuf, Yakub membuat jubah yang maha indah baginya. Dan tentunya hal tersebut membuat saudara-saudara Yusuf iri kepadanya.

Hal pertama yang perlu kita perhatikan adalah, secara psikologis, Yakub sebagai ayah membuat Yusuf menjadi orang yang besar di antara saudara-saudaranya. Ia menjadi lebih berharga, lebih penting dan lebih dikasihi. Secara tidak langsung ini membuat Yusuf juga menjadi orang yang besar, berpikiran besar, berjiwa besar, dan berperilaku besar. Walaupun suatu ketika sang ayah menegurnya, karena mimpinya, tapi sang ayah tetap memperlakukannya sebagai pembesar, dengan menyimpan perkara itu di dalam hatinya (Kej 37:10). Pertanyaannya adalah, mengapa itu semua tidak membuatnya menjadi orang yang sombong?

Kedua, Yusuf membiarkan dirinya dijual ke tanah Mesir. Ia tidak memberontak, tidak bertanya, tidak marah dan bahkan cenderung tidak melakukan apa-apa padahal ia dididik oleh sang ayah untuk menjadi besar. Ia mendapati dirinya diperlakukan dengan tidak adil, didiskriminasikan, dilukai, ditekan namun tidak menjadikan segala sesuatu itu menjadi batu sandungan, mengapa itu bisa terjadi?

Ketiga, melalui bacaan kita kali ini, Yusuf juga mendapat perlakuan tidak adil dari Potifar. Ia mengalami apa yang disebut Ira Indrawardana sebagai agitasi (hasutan) dan kekerasan oleh hukum. Ia harus menerima hukuman atas apa yang tidak dilakukannya. Lebih dari itu dia dihukum karena ia mempertahankan apa yang benar. Toh ia pun tidak mencoba untuk membela dirinya., sebaliknya ia taat dan setia, menerima dengan hati yang lapang, bahkan tetap melakukan yang terbaik yang dapat ia lakukan sebagai manusia terbatas. Mengapa?

Bayangkan bila kita mengalami apa yang Yusuf alami! Bila sejak kecil kita diperlakukan dengan begitu istimewa, begitu dihargai, dan dibuat besar, mungkinkah kita bisa berlaku seperti Yusuf berlaku? Atau jangan-jangan kita akan tumbuh menjadi pribadi yang arogan, pribadi yang sombong dan egois, memandang diri yang paling benar dan paling berharga dan memandang orang lain dengan sebelah mata?

Ketika kita dijual oleh saudara-saudara kita, dizolimi, dibuat merana, dibenci bahkan ‘dibunuh’, mungkinkan kita dapat berlaku seperti Yusuf yang dengan tangan terbuka menyambut, memeluk, dan senantiasa mengasihi mereka bukan dengan cinta yang pura-pura namun dengan cinta yang ikhlas. Atau kita akan memilih menajdi manusia yang memiliki dendam kesumat yang tidak mau memperbaiki relasi, bahkan berusaha untuk membalas segala sesuatu yang telah menimpa hidup kita?

Dan ketika kita diperlakukan dengan tidak adil, dengan dibiarkan menanggung apa yang menurut kita tidak layak kita terima, dihujat, difitnah, dizolimi, apakah kita akan tetap bersikap tenang seperti Yusuf, menerima dengan jiwa besar? Atau kita akan menuntut balik, mengajukan banding taupun kasasi, seperti yang dilakukan oleh sebagian besar manusia ketika haknya diinjak-injak?

Yusuf yang diberikan kuasa dan kepercayaan begitu rupa dari Potifar, SEBAGAI PENGUASA di rumahnya bisa saja menggunakan kesempatan untuk tidur dan bersetubuh dengan isteri Potifar. Tapi hal tersebut tidak ia lakukan, bukan karena kuasa yang dimilikinya tidak termasuk untuk menguasai isteri Potifar, namun karena ia tidak mau kelakukan apa yang dianggapnya kejahatan besar dan dosa kepada Allah (39:9). Inilah sesungguhnya yang menjadi jawaban atas 3 pertanyaan tentang Yusuf di atas. Yusuf adalah manusia biasa yang punya kelemahan dan kekurangan. Dia bukan semata-mata seorang pemuda gagah yang memiliki karakter tabah, sabar, tekun dan senantiasa berpikir positif. Ia melakukan itu semua karena ia mengenal Allah, dan bukan semata-mata karena dirinya sendiri. JADI SEBENARNYA FAKTOR-FAKTOR DI ATAS PERLU DILENGKAPI LAGI DENGAN SATU FAKTOR YANG PALING PENTING DAN PALING UTAMA DALAM PEMBENTUKKAN KARAKTER MANUSIA SESUNGGUHNYA, YAITU: ALLAH!!!

Tidak dapat dipungkiri, bahwa sesungguhnya Allah memiliki peran yang luar biasa dalam diri manusia dalam membentuk karakternya masing-masing. Pengalaman boleh pahit, orang tua boleh kejam, lingkungan boleh mendorong manusia ke jalan yang keliru, namun Allah yang menjadikan segala sesuatu itu menjadi kebaikan bagi kita. (Kej 50:20). Setiap manusia memiliki karakter Allah itulah makna segambar dan serupa dengan Allah, hanya saja manusia tidak bisa mengisolasi diri dari lingkungan dan pengalaman yang dapat baik secara langsung ataupun perlahan membunuh karakter Allah itu dalam diri manusia, sehingga suatu waktu manusia menemukan karakter Allah telah terbunuh dan mati dalam dirinya.

Begitu juga dengan seorang Yusuf. Ia bisa menjadi seorang pembunuh, pemberontak yang membenci keluarganya... atau penguasa yang tidak berprikemanusiaan, yang akhirnya juga dapat menjadi seorang pembunuh karakter atas mereka yang dikuasainya, oleh karena pengalaman pahit dan luka batin yang dideritanya. Namun itu semua tidak dipilihnya. Ia memilih untuk tetap memelihara karakter baik yang telah Allah tanamkan dalam setiap individu.. tentunya ketika kita menyadari bahwa setiap manusia sesungguhnya diciptakan dengan karakter Allah, bukan berarti karakter itu akan tetap ada dan nampak dalam kehidupan tiap individu. Semuanya itu tergantung, tergantung pada apa? tergantung apakah kita mau memelihara karakter itu dan mengikutsertakan Allah dalam rangka membentuk karakter yang sungguh sesuai dengan kehendakNya, bukan kehendak kita.

Karakter kita tidak hanya dibentuk oleh manusia, oleh keadaan dan situasi dimana kita tumbuh kembang, tapi juga oleh Tuhan yang membentuk kita di rahim ibu kita. Masalahnya adalah, sadarkah kita bahwa Tuhan punya andil, dan oleh sebab itu kita memberikan Yang Maha itu kesempatan untuk turut serta? Ataukah kita menutup rapat kesempatan itu dan membiarkan segala sesuatu yang duniawi membentuk jati diri kita? Memang tidak semua yang bersifat duniawi itu buruk, karena Alalh juga menciptakan dunia ini pada awalnya dalam kesempurnaan. Tapi bukankah manusia telah merusaknya? Menjadikan segala sesuatu yang sempurna adanya menjadi cacat, membunuh karakter yang sempurna dalam setiap ciptaan Allah?

Di atas segala sesuatu yang manusia lakukan untuk merusak karakter Allah, Allah tetap memelihara karakter dan citra diriNya di dalam manusia. Ia tidak membiarkan citraNya mati karena pembunuhan yang dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu karakter Allah dalam diri manusia tidak pernah benar-benar mati. Mungkin sekarat, mungkin mati suri, tapi tidak pernah benar-benar mati dan lenyap dari kehidupan manusia. Hanya saja kini pertanyaan bagi kita semua, sejauh apa kita membiarkan Allah menghidupkan kembali karakterNya dalam diri kita, seperti yang telah Yusuf lakukan dalam hidupnya yang tidak mudah, tidak nyaman, namun tetap berada dalam naungan dan berkat Tuhan.?

Pembentukkan karakter tidak hanya tergantung dari segala sesuatu yang duniawi ataupun dari Allah, tapi dari manusia itu sendiri. Mampukah, atau lebih tepatnya maukah ia memilih yang terbaik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar