Rabu, 10 Juni 2009

Menjadi Anak Bapa Yang Kudus

Yesaya 6:1-8
Mazmur 29
Roma 8:12-17
Yohanes 3:1-17

Tujuan:
Anggota panggilannya sebagai anak Bapa yang kudus.

Pertanyaan:
1. siapakah yang dipanggil Bapa yang Kudus?
2. bagaimana seharusnya sikap seorang anak?

“ Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.” Banyak atau bahkan mungkin hampir semua dari kita pernah mendengar istilah tersebut tentunya. Ya, memang buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, namun pernyataan itu tampaknya hanya akan timbul bila hal-hal negatif dilakukan oleh sang anak. Apa yang akan dikatakan para ibu bila sang anak memiliki sifat negatif ayahnya? “Ini anak setali tiga uang sama bapaknya ya...” sebaliknya, sebagai seorang kepala keluarga juga tidak membuat perbedaan, bahkan ungkapan yang sama juga keluar dari bibir para ayah ini.

Mengapa manusia lebih suka melihat buah-buah yang buruk dibandingkan mengingat sudah berapa banyak buah yang baik yang dihasilkan si pohon baginya. Nampaknya manusia memang perfeksionis dalam menjalani hidupnya. Perfeksionis untuk mencari kesalahan sesamanya manusia. Banyak manusia yang hanya mau hidup enaknya saja. Anak lebih suka untuk menyalahkan orang tua atas segala yang terjadi dalam hidupnya, daripada mencoba untuk memahami perasaan kedua orang tuanya. Banyak anak sering kali menuntut orang tuanya yang tidak dapat memberikan apa yang diinginkan oleh sang anak. Tanpa menyadari bahwa orang tua senantiasa memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, sering kali sang anak senantiasa mencari keuntungan dari kedua orang tuanya..

Itulah juga yang kerap kali kita lakukan sebagai anak-anak Bapa. Siapa yang tidak mau menjadi anak Raja? yang mendapat begitu banyak warisan berharga? Memiliki kuasa dan diberkahi oleh begitu banyak hal? Yang kita inginkan adalah keselamatannya, harta warisannya, berkat rohaninya, tapi tidak ketaatan dan penderitaannya. Kita lebih memilih untuk menuntut daripada menunjukkan hormat dan ketaatan dalam kasih. Menuntut menjadi pekerjaan kita setiap harinya. Kita lupa bahwa menjadi anak-anak Allah yang Kudus bukan semata hanya mendapatkan keistimewaan yang menyenangkan, namun juga mengambil bagian dari kesengsaraannya.

Manusia, seperti kacang lupa pada kulitnya. Manusia lupa bahwa sebelum mereka menjadi seorang anak, mereka hanyalah budak belian yang tidak memiliki hak hidup karena dosa. Manusia lupa bahwa tanpa Allah mereka hanyalah jasad, mayat yang tidak ada artinya. Yesaya menyadari itu semua, bahwa ia hanyalah seorang yang najis bibir, yang tidak layak untuk menghampiri tahta Tuhan sekalipun apalagi menjadi nabi, orang kepercayaannya. Yesaya sadar, bahwa perjumpaan dengan Allah dapat membawanya kepada kematian, karena begitu kudus dan sucinya Allah, hingga sesungguhnya tanpa perkenan-an-Nya ia tidak akan pernah dapat melihat Allah muka dengan muka. Tidak ada satu halpun yang ada di dunia mampu menghapus kesalahan dan menguduskan manusia selain kasih Allah. Tidak ada yang dapt membenarkan manusia di hadapan Allah, kecuali Dia sendiri yang membenarkan manusia itu.

Kesadaran itulah yang mulai hilang pada diri gereja masa kini. pikiran manusia hanya dipenuhi dengan hal-hal yang menyenangkan menurut paradigma manusia dan bukan menurut pandangan Allah. Kenyamanan beribadah, janji-janji indah, dan sebutan sebagai umat pilihan telah membius manusia, dan menjadikan mereka lupa diri. Lambat laun manusia juga semakin melupakan bagaimana seharusnya mereka bersikap sebagai anak-anak Allah.

Bapa kita bukanlah bapa yang sembarangan, bukan Bapa yang penuh kelemahan seperti bapa ala dunia. Seorang anak akan diragukan bila ia tidak punya kemiripan dengan ayah dan ibunya. Oleh karena itu, berkaitan dengan ungkapan ‘buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya’, kita yang menyatakan diri sebagai anak-anak Bapa, sudah sepatutnya menunjukkan kualitas yang ‘diwariskan’-Nya kepada kita.

Apa kriteria seorang anak Allah?
1. apa yang saudara inginkan dari seorang anak? Tentu saudara mengharapkan seorang anak yang patuh, anak dapat dibanggakan, mampu menjaga nama baik orang tua bukan? Begitu juga Allah. Ketika kita menyebutnya sebagai Bapa, maka kita juga diharapkan dapat menjadi anak-anak yang sungguh taat, tidak merusak nama baik orang tua, alih alih memuliakan dan mengharumkan nama Allah sebagai Bapa. Allah ingin kita menjadi anak-anak yang hidup oleh Roh dan bukan menurut daging. Roma 8: 13. Anak-anak Allah adalah anak-anak yang patuh kepada kehendak dan perintah Bapanya, bukan anak-anak yang memberontak dan menjadi musuh bapanya. Bagaimana cara hidup oleh Roh? Hidup Oleh Roh berarti hidup yang dipimpin dan dikuasai Roh setiap saat. Apapun yang kita lakukan, apapun yang kita pikirkan, apapun yang ada di dalam hati kita dikendalikan oleh Roh Allah dan bukan oleh nafsu atau kedagingan kita sebagai manusia.
2. anak-anak yang dilahirkan kembali dari air dan Roh, Pertanyaannya mungkin: Apa yang akan anda lakukan bila suatu ketika anda sudah berada diambang kematian, lalu diberikan kesempatan hidup satu kali lagi oleh Allah? adakah dari anda akan mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya, menjadi orang yang sunguh berguna dan menjadi inspirasi? Ataukah anda lebih memilih untuk melakukan segala sesuatu yang menjadi kesenangan bagi anda? Second Chance. Bagaimana anda menggunakan kesempatan kedua anda? Setiap kita telah dianugerahi kesempatan kedua... bahkan lebih dari dua kesempatan yang datang dalam kehidupan kita, tapi sudahkah kita mempergunakan kesempatan baik itu dengan cara dan hal yang baik pula? Atau keadaan tetap sama seperti sedia kala?Yoh 3:5. Kita tidak akan dapat hidup oleh Roh bila kita tidak membiarkan diri kita dilahirkan kembali oleh air dan Roh. Bukan berarti kita harus masuk kembali ke dalam rahim ibu kita dan lahir dengan cara terbaru yaitu lahir dalam air, yang marak dilakukan oleh ibu-ibu muda masa kini yang ingin mengurangi rasa sakit ketika persalinan. Air memiliki makna magis dalam ritual umat Yahudi. Air tidak hanya menjadi sumber kehidupan bagi manusia, namun juga menjadi simbol penyucian dan pembersihan. Air digunakan untuk membasuh, mencuci, membersihkan. Lahir dari air berarti membiarkan kita dibasuh bersih oleh Allah, yaitu juga, membiarkan baju lama kita dibuka dan dibuang, digantikan oleh baju baru. Lebih dari itu air juga menjadi simbol kematian. Seseorang yang lahir dari air, menjadi manusia yang baru, yang telah mati bersama dengan kematian Kristus, dan bersedia menjalani hidup baru telah dianugerahkan, yaitu mempergunakan kesempatan kedua dengan sebaik-baiknya.
3. Mereka yang menjadi anak-anakNya adalah mereka yang percaya. adakah kita sekedar percaya atau berani mempercayakan diri kita di tanganNya yang cukup kuat untuk menopang kita? Percaya bukan sekedar beriman atau mengimani, tapi berani mempertaruhkan segala sesuatu untuk mempertahankan apa yang dipercaya dan diimani itu. Adakah kita berani mempertaruhkan segalanya untuk mempertahankan Allah dalam hidup kita? Percaya juga perlu dibuktikan bukan hanya sekedar ucapan yang keluar dari bibir kita namun juga dari apa yang nampak dalam keseharian kita. Menjadi percaya adalah menjadi orang yang sungguh menyandarkan diri kepada Tuhan, menjadi orang yang tidak mengandalakan kekuatan, kepandaian, hikmat dan kefasihan diri.
Percaya adalah merasa aman,
ketika dunia memberi kita berbagai macam bahaya.
Percaya adalah merasa damai
Ketika dunia memberi kita beragam kegelisahan
Percaya adalah merasa sukacita
Ketika dunia hanya menawarkan kita dukacita dan ratap tangis
Percaya adalah memiliki pengharapan penuh
Ketika dunia berkata tidak!
Percaya adalah tetap memandang ke atas
Ketika semua orang menarik kita ke bawah
Percaya adalah tetap memberi yang terbaik
Ketika semua orang mengecam dan mengejek apa yang kita lakukan
Percaya adalah bertahan
Ketika tidak ada satupun yang dapat dipertahankan

Percaya adalah....
Dengan pikiran, hati, dan tubuh yang dianugerahkan kepada kita,
kita melayani dan memberkati banyak orang dengan Kasih Allah

menjadi anak Allah memang bukan paksaan, namun panggilan. Setiap kita dapat memenuhi atau menolak panggilan itu. Tapi bagi kita yang bersedia memenuhi panggilan itu, penuhilah dengan kesunguhan. Bukan hanya dengan menuntut hak sebagai anak Allah, namun juga bersedia menjalankan dan menjawab tantangan sebagai anak-anak dari Bapa yang Kudus, yaitu menjadi anak-anak yang juga menjaga kekudusan. Tentunya pilihan tetap di tangan kita, untuk menjadi anak-anak yang memuliakan atau mempermalukan, tapi setiap kita perlu sadar bahwa di balik setiap pilihan ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Siapkah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar