Rabu, 21 Juli 2010

My Family, My Cross...

“Gue sebel sama ade gue, tadi dia ngaduin gue ke nyokap, kalo gue yang mecahin vas bunga mahal punya nyokap. Tuh mulutnya kaya ember banget! Nyesel gue dulu pernah minta ade sama nyokap gue!!”
Adakah dari kita yang pernah mengucapkan kalimat penyesalan seperti di atas? Atau dalam bentuk yang lain misalnya kepada orang tua, kakak atau saudara yang lain? Jangan takut untuk mengakuinya loh! Karena kalimat tersebut adalah kalimat yang paling sering terlontar secara spontan karena emosi sesaat yang dialami oleh anggota keluarga karena adanya hal yang berjalan diluar kehendak dan kendalinya. Kalo dipikir-pikir kata-kata tersebut memang sangat normal dan manusiawi (bukan berarti kita boleh mengatakannya loh), karena kebanyakan manusia ingin memiliki keluarga ataupun anggota keluarga yang sesuai dengan harapannya. Sedangkan pada kenyataannya kita memang tidak dapat memilih siapa yang akan menjadi orang tua ataupun saudara kita; seperti apa rupa orang tua dan saudara-saudara kita; keadaan ekonomi; sifat-sifat buruk yang tidak diharapkan, dan lain sebagainya.
Pdt. Em Andar Ismail, pernah mengatakan bahwa setiap keluarga memiliki salibnya masing-masing, yang berbeda satu keluarga dengan yang lain, baik dalam hal rupa dan beratnya. Hal-hal yang tidak kita harapkan terjadi dalam keluarga kita, masalah-masalah ringan hingga yang seakan tidak dapat kita tanggung, konflik antara anggota keluarga, perbedaan pendapat dan prinsip, dan lain sebagainya, itulah yang diumpakan beliau sebagai salib.
Masalahnya, banyak dari kita yang merasa salib kita terlalu berat atau salib keluarga lain jauh lebih ringan. Sehingga ungkapan ‘rumput tetangga jauh lebih hijau dari rumput di halaman sendiri’ menjadi hal yang biasa. Padahal, bagi yang mengalaminya sendiri mungkin rumput di halaman kitalah yang jauh lebih hijau, lebih subur dibanding rumput di halaman kita. Atau dengan kata lain, ketika kita mulai mengatakan enaknya punya keluarga seperti seperti keluarga si A, atau keluarga si B, mereka juga mungkin berpikir betapa enaknya memiliki keluarga seperti yang kita miliki.
Nah kalau sudah begitu, kita akan menjadi anak-anak pemimpi yang tidak mau menghadapi realitas yang telah Tuhan karuniakan kepada kita, dalam rupa keluarga dan segenap permasalahannya. Lalu apa yang dapat kita lakukan? Hal pertama yang harus kita sadari adalah bahwa Tuhan tidak pernah asal-asalan menempatkan kita di sebuah keluarga loh! Segala sesuatu sudah dirancangkan jauh-jauh hari sebelum kita berada di dalam kandungan ibu kita, serperti yang Tuhan katakan kepada Nabi Yeremia dalam Yeremia 1: 5a yang berbunyi: “sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau.” Ia tahu keluarga yang ‘terbaik’ bagi setiap kita untuk bertumbuh dan berkembang.
Memang kita dapat berkata: “ Bagaimana keluarga saya dapat dikatakan tempat yang baik bagi saya untuk bertumbuh dan berkembang, ketika saya merasa orang tua saya menyakiti saya lewat perkataan, dan perbuatan mereka.” Tapi kita juga harus menyadari bahwa cara Tuhan membentuk kita tidak kadang tidak sejalan dengan cara kita, bahkan kadang Tuhan membentuk kita dengan proses yang tidak menyenangkan hingga menyakitkan. Tentunya bukan untuk sekedar menguji, atau untuk kepentingan DiriNya semata, tapi untuk menjadikan kita anak-anakNya yang berkualitas, bermartabat dihadapanNya dan di hadapan sesama manusia.
Nah, karena cara Tuhan kadang tidak sejalan dengan cara kita, bagaimana kita merespon cara Tuhan ini?
1. Bersyukurlah. Bersyukur bukan hanya ketika kita mengatakan terima kasih Tuhan telah memberikanku orang tua yang baik, yang sudah menyekolahkanku hingga sebesar ini. Tapi ketika kita menggunakan kesempatan yang Tuhan beri sebagai sebuah keluarga untuk saling memberi yang terbaik selama kita bisa. Bersyukur untuk semua pahit manis yang kita jalani sebagai sebuah keluarga dengan tetap meyakini janji Tuhan, bahwa segala sesuatu akan dibuatNya menjadi kebaikkan bagi setiap kita yang percaya kepadaNya. (Roma 8:28.)
2. Tempatkan diri sebagai Sahabat bagi setiap anggota keluarga. “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menajdi saudara di dalam kesukaran” Amsal 17:17. Kadang kita tidak dapat memahami mengapa orang tua, saudara kita melakukan ini dan itu yang membuat kita kesal, marah hingga sedih. Bahkan kita sering kali tidak dapat memahami siapa sebenarnya orang tua dan saudara kita. Oleh karena itu, cobalah menjadi seorang sahabat bagi mereka, yang siap mengerti, mendengar, menolong setiap anggota keluarga kita, dan bukan hanya meminta untuk dimengerti, didengar, ditolong!
3. Jadilah pribadi yang bersikap positif satu terhadap yang lain, dengan cara mengevaluasi diri tentang seberapa banyak kita, sebagai anggota keluarga telah mengubah anggota keluarga kita yang lain menjadi lebih baik. Sudahkah, dengan keberadaan kita sebagai anak, kakak, adik, menjadikan hidup orang tua, kakak dan adik kita menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar