Rabu, 21 Juli 2010

Diambang Batas

1 Raja2 17:17-24
Maz 30
Galatia 1: 11-24
Lukas 7: 11-17

Perasaan marah, sedih, benci, kesal, pupus harapan dan tidak tahu harus berbuat apa lagi menjadi hal yang biasa dialami dan dirasakan oleh manusia yang dilanda pergumulan, masalah, dan kepahitan hidup. Lumrahkah itu? Tentu...bukan manusia bila kita tidak merasa marah ketika orang yang kita cintai harus pergi meninggalkan kita, karena menjadi korban tabrak lari. Bukan manusia bila kita tidak merasa sedih bila anak yang kita banggakan tidak mampu bersekolah lagi karena keadaan ekonomi keluarga yang sedang morat marit. Bukan manusia bila kita tidak merasa benci kepada dokter yang seharusnya menolong alih2 membunuh sanak keluarga kita, karena perbuatan malprakteknya, atau ketika seorang guru yang seharusnya mendidik dan menjadi teladan malah menodai putra-putri kita. Tak usahlah kita mengalaminya terlebih dahulu untuk membayangkan bagaimana rasanya. Mendengar berita semacam itu di televisi saja sudah dapat membuat kita marah, kesal, dan sedih. Kejadian2 yang saya ungkapkan adalah kejadian2 yang biasa terjadi dalam hidup manusia, termasuk kejadian yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan saya dan saudara, walau kita mengatakan lebih suka mengatakan “amit2 deh, kejadian sama saya”

Hidup tidak akan pernah berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan, hidup tidak pernah menjadi ideal seperti apa yang kita bayangkan tetang suatu yang ideal dan tidak. Ada kalanya, bahkan banyak kalanya kita merasa di ambang batas kekuatan dan kesabaran. “Manusia kan terbatas, semuanya ada batasnya, kesabaran saya ada batasnya begitu juga dengan kekuatan saya.” Menjadi pembelaan yang senantiasa kita katakan kepada Tuhan ketika kita lebih memilih untuk mulai marah, mengeluh, menyalahkan keadaan dan lain sebagainya. Tak mampu untuk maju namun tak mungkin juga untuk mundur, hasilnya kita akan menjadi hidup enggan mati tak mau, pun kita memutuskan untuk tetap melanjutkan hidup, maka kita akan menjadi manusia yang hidup dalam dendam dan keputusasaan.

Lalu bagaimana kita dapat melanjutkan hidup yang berada dalam ambang batas? Di ujung tanduk? Setiap manusia pasti pernah mengalaminya, tua muda, miskin kaya, siapapun dia. Begitu juga dengan para tokoh Alkitab. Mereka juga menjadi makhluk yang rentan akan kepedihan hidup, tapi mengapa kisah-kisah mereka menjadi inspirasi selama ribuan tahun? Bukan karena betapa hebatnya pergumulan hidup mereka, namun karena betapa mereka telah menjadi teladan yang baik dalam menghadapi masalah terberat sekalipun. Apa teladan mereka?

1. Banyak dari saudara masih mengingat kisah tentang Janda di Sarfat. Ia adalah seorang perempuan miskin yang hidup bersama anak tunggalnya. Ia bertahan hidup hanya dengan sedikit tepung dan minyak untuk membuat roti hingga Elia datang sebagai hamba Allah membawa berkat Tuhan yang tak henti kepada keluarganya. Namun disuatu waktu Tuhan mengambil anaknya yang satu-satunya itu. Apa yang mungkin terjadi padanya? Hancur hatinya sebagai seorang ibu, menjadi sebatang kara tanpa orang-orang yang ia kasihi. Ia merasa semua yang ia hadapi termasuk kematian anaknya menjadi suatu hukuman bahkan kutukkan baginya, yang menyadarkan ia akan kesalahan2nya. Lalu bagaimna dengan Elia? Adakah Ia marah kepada Tuhan, karena Tuhanlah yang mengutusnya untuk tinggal bersama dengan janda miskin tersebut ketika ia berada dalam pelariannya dari Raja Ahab dan Izebel isterinya yang hendak membunuhnya? Adakah ia marah karena kini ia harus berhadapan dengan janda yang berduka, karena kehilangan anaknya. Apa yang mungkin dirasakan Elia? Mungkin ia akan berkata: “Aduh Tuhaaannn, Engkau ini mau apa sihh...aku membelamu, dan aku hampir mati karenanya, kini aku seakan2 membawa musibah dan kutuk bagi keluarga yang Kau utus untuk memelihara aku."
Dalam kehidupan kita sehari2, bagi sebagian kita, melihat kemalangan, kesusahan, hingga penderitaan, datang sebagai sebuah hukuman dan kutukan yang menyengsarakan, sedangkan sebagian yang lain melihatnya sebagai teguran hingga ujian yang dapat mendewasakan dan menumbuhkan iman. Kini, respon mana yang kita pilih? Elia memilih untuk meresponi hal2 buruk yang terjadi dengan kemarahan dan kekecewaan terhadap Tuhan yang telah mengutusnya, alih2 Ia mencari Tuhan dan memohon kepadaNYa untuk mengembalikan nyawa anak sang Janda. Entah berapa lama ia berdoa dan berseru kepada Tuhan. Alkitab hanya mencatat bahwa ia berseru kepada Tuhan sebanyak 3 kali. Memang tiga kali bukanlah jumlah yang banyak, namun itu 3 x menyatakan kegigihan Elia dalam ambang batasnya (baca: ketakutan terhadap ahab dan isterinya, kepedihan melihat siapa yang menolongnya bukanlah bangsanya tapi mereka yang ditolak, kesedihan melihat mereka yang menerimanya dilanda kesulitan, kegeraman terhadap bangsanya yang bebal). Ia tidak mudah menyerah dan memilih untuk terus berharap kepada Tuhan walau mungkin Tuhan mengatakan TIDAK. Lalu apa yang terjadi? Bukan hanya kebangkitan sang anak yang terjadi, namun perjumpaan Sang Janda dengan Allah yang luar biasa itu. Kepasrahan dan pengabdiannya kepada Tuhan, ketika hidupnya berada di ambang batas, menjadi teladan yang tidak hanya memberikan jalan keluar, tapi juga membawa keselamatan yaitu kehidupan yang sesungguhnya bagi keluarga janda itu.
2. Apa yang akan terjadi pada seseorang yang gagah, dihormati, ditakuti, berkuasa, pandai, ketika ia kehilangan segalanya sesuatunya itu? Adakah dari anda yang akan menjawab sakit2an lalu mati? YA, bagi manusia itu adalah hal yang paling mungkin terjadi. Namun tidak bagi manusia yang mengandalkan Allah. Dimanakan batas ambang Paulus? Yaitu ketika ia kehilangan semuanya termasuk kuasanya. Dulu ketika ia masih menjadi musuh Allah ia dapat melakukan apapun yang ia suka, menggunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk membawa banyak orang ke penjara. Namun kini ketika ia memilih untuk berjalan dalam dan bersama Tuhan, ia kehilangan semuanya. Ia yang menangkap kini ditangkap, ia yang dahulu memukul kini dipukul, ia yang dahulu mengikat kini diikat...siapa yang tahan? Bukankah bagi manusia itu semua adalah hal yang tidak mudah untuk dilalui. Terlebih lagi Paulus mengatakan bahwa ia pergi ke Damsyik tempat dimana ia banyak membunuh dan mengejar orang Kristen. Orang-orang tentu tahu apa tujuannya ketika terakhir kali ia datang ke kota itu, maka kembali ke Damsyik dilakukannya dengan penuh keberanian. Bagaimana dengan Yerusalem? Disanalah orang orang Yahudi yang dulu adalah kawan dan sekarang menjadi lawan bagi Paulus. Meraka tidak suka akan perubahan yang terjadi dalam diri Paulus. Ia juga kembali ke kampung halamannya, tempat ia dibesarkan, Siria dan kilikia. Tentu orang2 di sana tahu dengan pasti orang seperti apa Paulus itu. Menghadapi masa lalu adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan oleh manusia, namun Paulus berani menghadapi masa lalunya itu.
Lalu bagaimana Paulus menghadapi ambang batasnya? Kesadaran bahwa hidupnya ada dalam rancangan kasih karunia Allah dan panggilan Allah. (Ay 14) sukacita karena Allah berkenan menyatakan diri kepadanya. Sejak Paulus mengalami ‘pencerahan’ itu, tidak sekalipun ia meminta pertimbangan manusia. Surat Galatia menjadi jawaban Paulus akan segala tuduhan yang ditujukkan kepadanya, yang menyerangnya secara pribadi, dengan tujuan melemahkan pengaruhnya. Keberaniannya menghadapi masa lalu, datang kepada mereka yang dulu ia kejar dan benci menjadi teladan yang tidak hanya membawa sukacita, namun juga kekaguman yang besar terhadap Tuhan yang dapat mengubah seseorang dengan begitu rupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar