Berbicara tentang keragaman dan keunikan manusia dan segala hal yang ada dalam hidupnya, seperti berbicara tentang jutaaan warna yang ada di dunia ini. Perbedaan membuat dunia ini menjadi indah, keragaman membuat hidup tidak monoton. Namun sayangnya manusia sering kali menyalahartikan keragaman ‘warna’ yang Tuhan ciptakan. Keragaman yang seharusnya menjadi sesutu yang saling melengkapi dan memperkaya, malah menjadi momok yang mengerikan. Keragaman menjadi kambing hitam. Ia dituduh sebagai sumber perpecahan, sumber perselisihan, sumber permusuhan, sumber konflik berkepanjangan. Dan yang lebih menyedihkan adalah ketika karena alasan perbedaan manusia saling melenyapkan dan membunuh. Perbedaan menjadi alasan manusia untuk menghilangkan nyawa, harta, kesempatan manusia lain yang memiliki paham, pendapat, pandangan hidup yang berbeda. Sejarah telah membuktikan itu semua, baik itu sejarah agama-agama maupun sejarah berbagai bangsa dan negara di seluruh dunia. Misalnya Sidartha Gautama nyaris dibunuh hanya karena ajarannya tentang hidup dan pencapaian nirwana berbeda dengan ajaran para pemuka agama pada masa itu. Begitu pula Yesus menjadi korban hanya karena ia pandangan dan pengajarannya‘berbeda’ dengan masyarakat Yahudi kebanyakan tentang aturan agama.
Berkaca dari buku “Berbagai Aliran di Dalam dan di Luar Gereja” karya Jan S Aritonang, menyadarkan kita bahwa tubuh Kekristenan sekalipun, memiliki beragam perbedaan, baik itu doktrin atau ajaran tentang Yesus, Roh Kudus, Allah, keselamatan, ritual keagamaan dan masih banyak lagi. Perbedaan tentu bukanlah hal yang mengerikan, bukan juga sesuatu yang harus dihilangkan sampai segala sesuatu menjadi seragam. Perbedaan sudah selayaknya ada, karena keragaman adalah bukti dari ke-Maha-an Allah, Alm. Pdt. Eka Darmaputera menyebutnya Allah yang Kreatif. Yang perlu disini adalah bagaimana sikap kita menghadapi perbedaan? Apatis? Skeptis? atau Optimis?
Dalam doaNya, Yesus menginkan murid-muridNya untuk bersatu (Yoh 17:11, 21, 22, 23), sama seperti Dia dan Bapa. Yesus sangat menyadari bahwa perpecahan akan selalu menjadi tantangan terbesar bagi manusia. Manusia pada dasarnya ingin diakui keberadaannya, prinsip, pandangannya, sehingga mereka cenderung menganggap diri paling benar. Ia begitu memahami manusia yang rentan akan perpecahan, oleh karena itu dalam sepanjang doaNya menurut Lukas, kesatuan menjadi pokok doa Yesus. Sebenarnya apa alasan Yesus mengingkan murid-muriNya menjadi satu? Apakah maksud Yesus menjadi satu berati keragaman dan keunikan, bahkan kebebasan berekspresi dihilangkan? Tentu tidak, Ia punya maksud tertentu ketika ia berdoa kepada BapaNya.
1 Karena Allah dimuliakan melalui hidup kita
Karena para murid dan kita semua yang telah menyatakan diri milik Allah, yang telah menerima Firman Allah sebagai suatu kebenaran dan pedoman untuk hidup, yang tahu dengan benar, dan percaya bahwa Yesus datang dari Allah dan milik Allah, juga menjadi tempat dimana Allah dimuliakan di dalamnya. (7-10). Allah dimuliakan di dalam kita, dengan segala yang kita lakukan di dalam hidup. Ketika kita bertengkar, saling mencela dan menyingkirkan mereka yang tidak sepaham dengan kita, apakah dengan itu semua Allah dapat dimuliakan dalam segenap hidup kita? Yang telah mati buat kita adalah Kristus, yang telah mengorbankan segalanya bagi kita adalah Kristus, yang telah membebaskan kita dari dosa dan maut adalah Kristus, yang telah membenarkan, menyucikan dan menebus kita adalah Dia yang disebut Kristus, dan bukan para bapa-bapa gereja, bukan pendeta, bukan evangelis, bukan pembina, tapi Dia yang juga adalah Allah kita (1 Kor 1: 12-13). Pandangan, cara, boleh berbeda, tapi bukankah setiap kita yang terpanggil punya satu visi yaitu Krsitus? Jadikanlah Kristus tujuan kita, apa yang telah Ia lakukan menjadi misi kita bersama. Karena Allah dimulikan di setiap kita, dan Dia tidak terbagi-bagi.
2. Karena kita masih berada di dalam dunia
Kebenaran di dunia bukanlah sesuatu yang mutlak, karena yang mutlak hanyalah Allah. Oleh karena itu Yesus minta kepada BapaNya untuk menguduskan kita semua dalam kebenaranNya, bukan kebenaran menurut ukuran manusia yang fana tapi kebenaran menurut Allah sendiri (17-10) yaitu Firman Tuhan. Tentunya memahami Firman Tuhan juga harus menggunakan hikmat yang sama yaitu yang dari Allah sendiri Sang Pemberi Firman, dan bukan dengan hikmat manusia yang terbatas (1Kor 2:4-5). Mengapa kita perlu dikuduskan dalam kebenaran Allah? Karena dunia telah penuh dengan kejahatan dan dunia juga ‘membenci’ kita (14-15). Tentunya tidak akan ada manusi yang suka dibenci. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila manusia cenderung melakukan apapun untuk dapat diterima dalam komunitasnya. Yesus ingin para murid dan kita yang masih hidup dewasa ini, terus berada dalam dunia tanpa harus dipengaruhi oleh dunia.
Yang kerap terjadi adalah setiap kita terkadang mempertahankan kebenaran menurut kita sendiri dan menganggap yang lain tidak hidup dalam kebenaran. Dalam sebuah kebaktian KKR, seorang hamba Tuhan pernah berkata:” kita harus jadi gereja yang punya Roh, jangan seperti gereja-gereja yang suam-suam kuku, kita harus menyala-nyala dalam melayani Tuhan” di tempat yang lain, dalam sebuah kebaktian, “kita harus realistis, jangan mudah dikuasai oleh emosi, yang suatu waktu bisa teriak-teriak, menangis,sampai pingsan lagi” Apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh Kristus? Jangan jangan kita telah terjebak dalam egoisme dan kebenaan pribadi atau kolektif dan bukan mengacu pada kebenaran yang sejati pada Allah? Kita lebih suka mengkritik orang lain dan lupa mengevaluasi diri. “mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak kau ketahui?”(mat 7:3). Manusia memang cenderung lebih pandai menghakimi orang lain dan bukan diri sendiri. “hanya saya yang putih yang lain hitam, hanya saya yang benar, yang lain sesat.”
3. Supaya dunia percaya
Seorang ibu menanyai kedua anaknya yang sedang bermain, perihal vas bunga yang pecah. Anak pertama mengatakan bahwa vas tersebut pecah karena tersenggol sang adik ketika sedang bermain kejar-kejaran. Anak ke dua mengatakan bahwa vas tersebut pecah karena sang kakak tidak hati-hati ketika hendak menangkapnya. Kira-kira sang ibu percaya pada anak yang mana? Jika semua orang Kristen memberi jawaban yang berbeda, dan bahkan saling bertolak belakang, siapa yang mau dipercaya? Siapa yang dapat dipercaya? Dan pada akhirnya siapa yang mau percaya? Wong orang Kristennya aja bingung, kita tambah bingung deh! Orang Jawa mengatakan ojo kesusu, jangan kita terburu-buru memberi jawaban, yang belum tentu benar, belum tentu bijaksana. Yesus ingin kita menjadi satu, karena kita telah ditus untuk turut serta memberi jawaban kepada dunia atas segala pertanyaan. Bila kita sendiri tidak mampu menyatukan visi tentunya visi menurut versi Yesus, bagaimana kita dapat membuat orang percaya, paling tidak mengerti apa yang Allah ingin mereka lakukan. Jangan jangan dengan sikap kita yang saling menghakimi saudara yang berbeda paham, aliran ataupun lainnya, membuat dunia menjauhi kita, mencap kita sebagai pembohong, pembual dan yang terakhir menganggap Yesus bukan utusan Allah, bukan Tuhan, bukan Juruselamat, bahkan mungkin Yesus sama sekali tidak ada dan hanya rekayasa kita. Apakah kita mau dunia melihat Yesus hanya sebagai pembual yang berhasil menipu dunia, hanya karena kita tidak mau belajar untuk menyatukan perbedaan dan menjadikan perbedaan menjadi pengalaman spiritual yang saling memperkaya kesaksian kita tentang Allah kita.
Perbedaan tentu bukan sesuatu yang harus dihindari, dilenyapkan apalagi di kambing hitamkan. Kita sebagai gereja terpanggil untuk menjadi satu, seia sekata dan jangan ada perpecahan, tetapi sebaliknya kita diminta untuk erat bersatu dan sehati sepikir. (1 Kor1:10) terlebih lagi karena kita adalah tubuh Kristus. Tubuh akan mematuhi Sang Kepala gereja, yaitu Kristus itu sendiri dan bukan Paulus, Petrus, Ireneus, ataupun mereka yang disebut bapa-bapa gereja. Tentu sama seperti apa yang ditulis Paulus kepada jemaat di kota Korintus, bahwa tidak mungkin semua tubuh itu mata atau tangan atau telinga atau hidung, apa kata dunia, bila manusia menjadi seperti itu? Setiap bagian memiliki fungsi untuk menolong, menyempurnakan, dan melengkapi bagian yang lain, bukan untuk disisihkan. Menjadi satu, sehati sepikir bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, oleh karena itu merendahkan diri seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus adalah hal yang yang mendasar yang perlu dilakukan oleh seluruh orang Kristen (ef 5:21). Mengapa harus dilandaskan pada takut akan Kristus? Karena hanya di dalam Kristuslah ada nasihat, penghiburan, kasih, persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan yang menjadi dasar untuk saling membangun dan melengkapi, dan bukan kebencian, bukan permusuhan apalagi perpecahan yang tidak hanya merusak bahkan menghancurkan.
Yael Eka Hadiputeri S Si Teol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar