Yesaya 61: 1-4
Maz 126
1 Tes 5: 16-24
Yoh 1:6-8, 19-28
1 Taw 29:14
Bila kita ditanya oleh Tuhan:” apakah kau mencintaiku?” apa jawaban kita? Mungkin banyak dari kita mengatakan: “ya Tuhan aku mencintai Engkau!” tapi bila kita ditanya: “ apa yang telah kau lakukan untukKu?” apa jawab kita? Mengatakan kita mengasihi Tuhan tentu adalah hal mudah, namun membuktikan cinta kita kepada Tuhan, itulah yang susah! Banyak orang tidak mampu membuktikan cintanya kepada orang yang dikasihinya, apalagi kepada Tuhan yang tidak nampak di hadapannya? Itulah yang membedakan kita dengan Tuhan. Saat Tuhan mengatakan bahwa Ia mengasihi manusia, maka dengan kesungguhan dan pengorbanan jugalah Ia membuktikan cintaNya kepada manusia.
Itulah sebenarnya makna Natal, ketika Yesus membuktikan cintaNya kepada manusia dengan turun menjadi manusia. Natal bukan hanya menjadi hari raya umat Kristen (oleh karena itu banyak orang Kristen disebut sebagai Kristen Napas=> karena datang hanya pada Natal dan Paskah, karena datang hanya untuk merayakan saja dan tidak lebih dari itu), bukan hanya menjadi ajang tukar kado (kalo tidak ada kado, belum avdol rasanya), bukan pula menjadi ajang untuk lomba dekorasi (kalo natal tidak ada pohon natal, tidak ada lampu kelap-kelip, tidak ada kandang domba, gembala, maria dan Yusuf ko rasanya bukan Natal yaaa...) sering kali kita hanya mampu mendefinisikan natal sebagai hari ulang tahun Tuhan kita. Hari kelahiran juru selamat.
Natal bukan semata-mata perayaan, tapi pengorbanan, yaitu ketika Yesus memilih untuk mengosongkan diriNya, menanggalkan semua jubah ketuhanan dan kemahakuasaanNya, untuk menunjukkan apa itu kasih yang sesungguhnya kepada Manusia. Ia tidak datang dalam kemegahan dekorasi, tidak datang dalam gemerlapnya lampu natal, ia tidak datang dalam hangatnya ruangan juga dengan makanan yang berlimpah. Ia datang dalam kemiskinan, dalam ketidak-menentuan, dalam ketakutan, dalam ketidak-amanan. Oleh karena itu Natal bukan hanya sekedar perayaan, bukan hanya sekedar sukacita dan syukur sehingga harus selalu dirayakan dengan mewah, dengan segala kue natal dan makanan yang banyak dan lezat. Natal adalah PERINGATAN= WARNING= LAMPU KUNING bagi manusia! karena masa adven hadir sebagai masa penantian manusia untuk kedatangan Anak Manusia yang kini telah menjadi Raja, dan Hakim bagi kita semua yang meminta pertanggung jawaban akan kehidupan yang telah Ia percayakan kepada kita semua. Natal juga menjadi saat yang sangat tepat untuk kita merefleksikan ulang apa yang telah kita lakukan bagi Tuhan untuk membuktikan rasa cinta kita kepadaNya. Apakah selama hidup- kita hanya mampu mengumbar janji kepada Tuhan, atau sudah berupaya sebaik dan semaksimal mungkin melakukan yang terbaik yang Tuhan inginkan kita untuk melakukannya. Karena Natal sesungguhnya juga menjadi panggilan bagi semua orang percaya untuk turut serta Oleh karena itu natal juga menjadi saat yang tepat bagi kita untuk menyiapkan diri kita sebagai anak-anak Allah yang siap diutus menjadi agen perubahan
Namun sadar atau tidak banyak dari kita yang mencoba untuk mengalihkan tanggung jawab kita sebagai pengikut Kristus dengan mengatakan, saya kan lemah, saya kan manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan, sehingga kita tidak melatih diri kita menjadi waspada. Kita lupa bahwa kita memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menjadi garam dan terang, menjadi saksi dan teladan. Dan untuk melakukan tugas dan tanggung jwab kita itu, kita semua yang telah mengaku bahwa kita adalah para pengikut Kristus sesungguhnya telah dikaruniakan Roh Kudus yang memberikan kita kekuatan, kuasa serta kemampuan untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung, untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung, nyanyian puji-pujian ganti semangat yang pudar.
Masalahnya bukan tidak bisa, bukan karena kita adalah manusia yang lemah, tapi karena:
1. Kita tidak mau mengambil resiko untuk:
· Menjadi orang benar di hadapan Tuhan dan bukan hanya benar di hadapan manusia. Kita lebih takut akan komentar orang terhadap kita, dan bukan komentar Tuhan yang telah mengaruniakan hidupNya bagi kita. Kita hanya takut kepada: apa kata orang dan bukan apa kata Tuhan. Manusiawi? Ya, wajar? Enggak! Loh ko bisa? Yang mati dan mengorbankan segala-galanya adalah Tuhan kita, dan bukan manusia? Jadi ngak wajar ketika kita lebih memilih apa yang dikatakan orang lain dan bukan apa yang dikatakan Tuhan. Orang lain belum tentu memahami, mencintai kita seperti apa yang telah Tuhan lakukan untuk kita. Yohanes berani mengambil resiko itu. Ia memilih untuk taat kepada Allah dan tidak takut kepada manusia. Ia mengambil resiko itu dengan tampil di padang gurun, mempersiapkan jalan bagi Tuhan, menyerukan pertobatan kepada manusia. Ia tidak perduli apa kata orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Ia tidak perduli walau ia disebut keturunan ular beludak, yang ia lakukan adalah tetap melakukan apa yang telah menjadi tugasnya, yaitu apa yang menjadi kehendak Allah dan bukan kehendaknya.
· Keluar dari zona aman dan nyaman kita sebagai manusia. Elia dan Yohanes harus keluar dari zona aman dan nyaman mereka. Elia diminta untuk pergi dan percaya akan janji Tuhan yang akan memberinya makan melalui burung gagak di tapi sungai Kerit. Ia harus pergi ke Sarfat, dimana seorang janda akan memberinya makan, walau ia tahu bahwa sang janda hanya memiliki segenggam tepung dan sedikit minyak dalam buli-bulinya. Ia diminta untuk melakukan hal hal yang membahayakan hidupnya. Tapi Elia tetap melakukannya karena iman dan kasihnya kepada Allah yang ia sembah dan imani. (1Raj 17).
Sulitkah untuk dapat keluar dari zona aman dan nyaman kita? Untuk mengambil resiko menjadi orang benar di hadapan Tuhan dan bukan hanya di hadapan manusia? Tergantung!
Tergantung oleh apa?
- tergantung apakah kita menjadi orang yang senantiasa bersuka cita atau tidak? Bersuka cita tentunya bukan hanya perasaan senang dan bahagia. Lebih dari itu sukacita adalah perasaan bahagia bercampur dengan perasan diberkati. Sukacita bukan hanya perasaan yang tergantung dan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Karena sesungguhnya sukacita itu adalah kondisi dan situasi itu sendiri. Ia tidak mampu dipengaruhi oleh apapun. Ketika sungguh kita menjadi orang yang bersukacita, maka kita juga akan menjadi orang yang senantiasa bersyukur apapun keadaan dan peristiwa yang kita alami. Karena orang yang bersukacita mengerti bahwa apapun yang terjadi dalam hidup adalah berkat dan anugerah yang patut disyukuri.
- Tergantung apakah kita menjadi orang yang senantiasa berdoa atau tidak. Doa adalah nafas orang Kristen, jadi doalah sesungguhnya sumber kehidupan orang Kristen. Karena doa adalah nafas, maka orang Kristen tidak akan dapat melepaskan diri dari doa. Bahkan doa bukan hanya sekedar memejamkan mata selama 5-10 menit. Tapi doa adalah seluruh hidup manusia. Apapun yang kita lakukan adalah doa. Ketika kita berada di jalan, di rumah, di kantor, di sekolah dan apapun aktivitas kita adalah doa kepada Tuhan. Dan untuk itulah kita perlu menjaga segenap apa yang kita lakukan dan pikirkan, menjauhkan diri kita dari yang jahat dan selalu memegang yang baik.
- Tergantung apakah kita adalah orang yang selalu menjaga roh Allah hidup dan tinggal di dalam hati dan pikiran kita. Banyak orang masa kini membiarkan Roh Allah padam, sudah asik dengan kehidupan, terlena dengan kegelapan, enggan untuk terus menyala, mengapa? Karena mempertahankan api roh Allah bukanlah hal yang mudah. Kita harus senantiasa berjaga-jaga. Senantiasa terhubung dengan Dia yang adalah sumber Roh seperti komputer yang terus menerus tersambung ke internet, yaitu dengan terus menjaga hidup yang tidak bercacat di hadapan Tuhan, terpelihara sempurna.
Sulit? Tidak Ketika kita terus terhubung dengan Dia yang adalah sumber segala kekuatan dan penghidupan kita.
Dunia baru bukan hanya impian dan angan semata. Dunia baru sungguh dapat kita wujudkan bila kita mau bergandeng tangan mewujudkannya. Hanya saja perubahan tidak akan pernah datang dengan sendirinya. Perubahan datang bila kita memulainya. Jangan pernah menunggu orang lain untuk memulainya. Mesias telah datang lebih dari 2000 tahun yang lalu. Ia datang bukan hanya untuk membawa perubahan bagi dunia, tapi terutama menunjukkan bagaimana memulai perubahan, Ia sendiri menunjukkan bagaimana kita, manusia seharusnya hidup, begitu juga dengan Elia dan Yohanes Pembapts, yang telah memberi diri untuk memulai perubahan. Kini pertanyaannya bagi kita adalah, maukah kita??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar