2 Kor 6: 1-10
Pertanyaan refleksi:
1. mengapa anda melayani? Apa alasan anda melayani?
- karena saya telah diselamatkan.
- karena Tuhan memberikan saya hati untuk melayani.
- karena saya dipanggil.
- karena saya telah terlebih dahulu dilayani, kalo bukan saya siapa lagi yang mau dipakai untuk melayani, kan kebanyakan orang pengennya diayani.
Bila seseorang atau anda ditanya, mengapa anda mau melayani atau mengapa anda melayani? Apa yang kira-kira menjadi jawaban mereka atau anda? Banyak orang akan menjawab: karena Tuhan terlebih dahulu melayani saya, atau karena ingin membalas kebaikan Tuhan dalam hidup saya, atau karena saya sudah diselamatkan banyak jawaban teologis atau klise lainnya. Pertanyaannya bagi kita semua adalah, apakah jawaban itu adalah jawaban yang jujur, yang berasal dari hati nurani yang paling dalam, dan bukan menjawab karena tahu arti melayani, karena itu adalah jawaban yang paling baik dan bijaksana kedengarannya, atau karena itu adalah jawaban yang paling teologis? Sama halnya ketika anda ditanya, mengapa anda mau kerja di bank? Atau mengapa anda ingin jadi dokter? Apakah jawaban yang terlontar adalah: karena saya ingin melayani masyarakat dengan kemampuan dan ilmu saya? Atau karena itu adalah pekerjaan yang mampu menjamin hidup saya hingga tua, alias karena penghasilan yang diperoleh banyak?
Tentunya pertanyaan dan statement saya tadi, saya ajukan bukan karena saya ingin menghakimi anda bahwa anda tidak jujur bila anda menjawab(idem= diatas). Namun lebih kepada mempertanyakan ulang, agar sesungguhnya kita dapat meyakinkan diri kita sendiri bahwa alasan-alasan yang ada di dalam hati dan pikiran kita merupakan alasan yang jujur. Karenan dari poling yang saya lakukan. Banyak rekan, yang ketika ditanya, menjawab
(idem), lalu saya tanyakan ulang dengan menambahakan kata jujur loh, mengganti jawabannya. “yah, masa sih gw sebagai manusia ga ada melayaninya dikit lah”, atau ada juga yang berkata “ga enak lagi diminta masa ga mau, ntar dibilang egois lah, ato masa mahasiswa teologi ga mau melayani” dan banyak jawaban mencengankan lainnya.
Jawaban, tersebut tentunya di satu pihak membuat kita risih, namun di lain pihak itu adalah jawaban-jawaban yang sangat jujur, sangat manusiawi, sangat spontan, tanpa bumbu teologi, dan itu semua merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi. Mengapa? Karena tidak semua orang memiliki passion, hasrat, keinginan, kerinduan, kesenangan, atau apapun definisi kita, terhadap pelayanan. Melayani adalah suatu karunia yang tidak bisa dipaksakan karena:
- Itu adalah anugerah Tuhan. Tidak mengherankan, ketika pertanyaan yang sama saya lontarkan kembali kepada beberapa rekan ada yang menjawab: “ Karena Tuhan memanggil saya untuk melayani”; “karena saya butuh aktualisasi diri dan talenta sebagai respon ketika saya merasakan Tuhan melayani saya melalui orang lain” atau ada pula yang menjawab: “ Karena Tuhan memberi saya hati untuk melayani”. Karena memang pelayanan yang sesungguhnya lahir dari Tuhan sendiri, dan bukan dari manusia. 1 Kor 12: 4-6 mengatakan : “ ada rupa-rupa karunia tetapi satu Roh, ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan, ada berbagai perbuatan ajaib tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam setiap orang”.
Selain itu, tidak semua orang suka melayani. Ketika kita disuruh untuk terus memiliki gairah dalam melayani, namun kita tidak suka, maka gairah itu tidak akan pernah timbul. Gairah (keinginan, hasrat, semangat, kegembiraan) apapun itu, baik itu gairah seksual, gairah makan timbul dari suka. Seorang anak yang memang pada dasarnya tidak suka makan, tidak akan memiliki gairah untuk makan, walaupun makanan itu enak, kecuali ia sangat lapar, dan itu namanya bukan lagi gairah, tapi kebutuhan. Sama seperti seorang pemuda yang dipaksa dipaksa orang tuanya untuk masuk jurusan yang tidak ia sukai, maka ia tidak akan memiliki gairah untuk mejalankan masa kuliahnya itu=Patrick
Apalagi, bila kita menyadari gairah atau passion orang muda lebih banyak tertuju kepada dirinya sendiri dan bukan kepada orang lain, melayani menjadi sesuatu yang semakin sulit untuk dilakukan. Namun sebelumnya apa sih gairah pemuda, apa yang disebut dan menjadi passion usia pemuda? Bila kita ingin menjawab pertanyaan ini, maka sepatutnya kita juga menanyakan hal yang sama kepada diri kita sebagai pemuda. Walaupun kita dapat mendefinisikannya secara umum berdasarkan teori psikologi perkembangan pemuda [bahwa hasrat yang sering kali timbul pada usia pemuda adalah 1. kehidupan pribadi (karier, kualitas manusia) 2. hubungan interpersonal (keluarga, lawan jenis, relasi dalam dunia kerja) dan mungkin masih banyak hal yang lainnya, dan biasanya hasrat itu]. Sejatinya passion atau hasrat seseorang bersifat subjektif dan bukan objektif. Setiap individu dapat saja memiliki passion yang berbeda-beda, tergantung kematangan diri, cara pandang terhadap diri atau melalui sessi Pak Santoni, Citra Diri, pengalaman hidup, cara pandang terhadap hidup dan lain sebagainya. Dan tentunya passion yang kita miliki bisa bersifat positif atau negatif, karena passion sebanarnya memiliki arti perasaan/ keadaan emosional yang meluap (begitu besar) dan yang sering kali tidak terkendali seperti perasaan cinta, senang, termasuk di dalamnya cemburu, marah dan benci.
Misalnya: Seseorang yang di dalam hidupnya tidak pernah dilayani dengan baik, maka ada minimal 2 kemungkinan yang bisa terjadi. Yang pertama hasratnya adalah ia akan menjadi pelayan yang baik sekali, karena ia ingin orang lain bisa merasakan pelayanan yang baik, yang ia harapkan di dalam hatinya. Sedangkan kemungkinan ke 2 adalah ia berhasrat untuk menjadi orang yang sama sekali tidak akan pernah mencoba untuk melayani, dan bahkan ia benci untuk melayani. Sama halnya bila seseorang pernah mengalami kekerasan pada masa kecilnya oleh kedua orang tuanya, maka hasrat yang mungkin timbul adalah: pertama ialah ia tidak akan mengulanginya kepada anaknya, dengan berjanji mendidik anaknya sebaik dan sebijaksana mungkin, karena ia tahu dampak-dampak psikologis yang mungkin ditimbulkan; kedua, karena ia sungguh tidak mau mengulang kesalahan orang tuanya maka ia menjadi orang tua yang sangat sabar, bahkan cenderung memanjakan anaknya, tidak pernah memarahinya walaupun salah; ketiga, ia akan mengulangi apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya kepada anaknya itu, sama, tidak ada yang berubah, karena ia merasa kerasnya orang tuanya itu menjadikan ia manusia yang berdisiplin tinggi, berkualitas dan maju.
Masa pemuda juga menjadi masa menjujung tinggi dan mewujudnyatakan idealisme yang dimilikinya sedang semangat dan energi yang penuh, walaupun ketika kita benar-benar nyemplung pada ‘dunia nyata’ (dalam keluarga, hubungan interpersonal, pekerjaan, termasuk kehidupan pelayanan dll.), yang terjadi adalah kita lupa akan semua idealisme kita, bahkan yang kita lakukan seringkali melenceng jauh dari idealisme kita itu. Bahkan semangat dan energi yang tadinya full langsung turun drastis, seperti baterai handphone yang bocor. Di sisi yang lain semangat dan energi yang lahir dari hasrat kita bisa kita arahkan untuk hal yang negartif. Kembali ke contoh tadi, kemarahan pada diri manusia yang tidak pernah mendpat pelayanan apapun menjadikannya manusia yang boro-boro melayani, alih-alih mencemooh mereka yang ingin melayani dengan sungguh. Atau ketika kemarahan kepada orang tua yang keras dan kasar menjadikannya manusia yang lebih kasar, lebih keras kepada anaknya sebagai bentuk pelampiasan dendam.
Nah kini bagaimana kita menggunakan semangat dan energi muda kita agar kita terus dapat mempertahankan segala idealisme kita sebagai kaum muda, bahkan dapat menjadi motivator bagi yang lain khususnya dalam hal melayani? Sebelumnya kita kembali ke pertanyaan pertama. Mengapa saya meminta kita sekalian untuk jujur menjawab pertanyaan pertama tadi? Karena kalau kita tidak jujur, selain tentunya kita menipu diri kita sendiri, sesama dan terutama Tuhan, sejatinya pelayanan yang tidak didasarkan atas karunia dan panggilan Allah sendiri tidak akan mendatangkan berkat bagi orang lain, bahkan lebih menyedihkan ketika pelayanan kita menajdi batu sandungan bagi orang lain. Paulus dalam 2 Kor 6: 3-10 yang telah kita baca tadi, Paulus mengatakan “Dalam hal apapun, kami tidak memberi sebab orang tersandung, supaya pelayanan kami jangan sampai dicela. Sebaliknya dalam segala hal kami menunjukkan bahwa kami adalahpelayan Allah, yaitu dengan....”. Bagaimana kita dapat menjadi penggerak atau motivator ketika kita sendiri tidak bisa jadi berkat bahkan membuat orang jatuh tersandung. Ada keluhan dari seorang remaja yang berkata demikian: “saya sebel sama kakak itu, mentang-mentang sudah lama jadi pengurus, aktif dari kecil, sekarang jadi pengurus pemuda, gayanya kaya yang punya gereja.“ coba rekan-rekan membayangkan, bila adik remaja kita ada yang berkata demikian, apa perasaan rekan-rekan? Bukankah kita, pemuda-pemudi yang notabene berusia lebih tua, seharusnya lebih matang , lebih segala-galanya (walaupun usia tidak bisa menjamin itu), sudah seharusnya pula menjadi teladan, contoh bagi mereka yang dikagumi, mungkin dipuji mereka dan bukan membiarkan mereka tersandung?
Seseorang yang mengatakan “ saya melayani karena saya sudah diselamatkan” bukankah juga dalam pelayanannya seharusnya mewujudnyatakan keselamatan yang telah ia peroleh itu, dengan membawa setiap orang yang mengenalnya kepada keselamatan, dan bukan kecelakaan. Ketika seorang lain mengatakan “ saya melayani karena Tuhan telah melayani saya terlebih dahulu” maka seharusnya pelayanan yang dilakukannya adalah pelayanan yang ia teladani dari Tuhan dan bukan yang lain. Apa jadinya ketika kita tidak jujur, kita mengatakan A di mulut padahal B dalam hati, tidak mengherankan bila kita kemudian menjadi pemuda-pemudi yang tadi di kritik oleh sang remaja. Katanya A ko yang keliatan B.
Jadi resepnya:
- Kenali dahulu apa yang sesungguhnya menjadi passion kita dalam hal pelayanan. Caranya? Jujur terhadap diri sendiri dan terhadap Tuhan
- Minta sama Tuhan passion itu. Minta sama Tuhan hati dan motivasi yang benar serta dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan dan manusia, dalam pelayanan kita. Karena Dialah sumber passion kita untuk melayani. Hanya Tuhan yang bisa menjadikan kita manusia yang :
- Mampu sabar ketika menderita, sesak dan sukar
- mampu menanggung dera kerusuhan
- mampu berjerih payah, berjaga-jaga dan berpuasa
- mampu memelihara kemurnian hati, kemurahan hati
- mampu mengasihi dengan kasih yang tidak munafik
- mampu setia memberitakan kebenaran Allah
- ketika dihina, diumpat, dianggap penipu
- ketika tidak dikenal, namun terkenal
- ketika nyaris mati, dihajar
- ketika berdukacita namun senantiasa bersukacita
- ketika miskin namum memperkaya banyak orang
- ketika tidak memiliki apa-apa, namun memiliki segala sesuatu
bila kita hanya mengandalakan kekuatan dan kemauan kita sendiri, kita tidak akan pernah bisa berkata seperti Paulus dalam pelayanannya. Karena pada dasarnya kita lemah, kita adalah manusia yang berorientasi kepada diri sendiri dan bukan kepada Tuhan. Tentunya dengan kesadaran bahwa hanya Tuhan pulalah yang mampu memberikan bila Ia berkenan dan biarkanlah Tuhan memberi kepada kita sesuai dengan kerelaanNya bukan sesuai dengan kehendak kita. “karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” Fil 2: 13. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar