Kejadian 18:1-10a
Maz 15
Kolose 1: 15-28
Lukas 10:38-42
“Melayani? cape ah!!” kata seorang anak remaja kepada saya beberapa waktu yang lalu. “loh kenapa, kok gitu?” “Iya,pelayanan itu buat kita ga bisa main sama teman, buat kita harus banyak berkorban, buat kita ga bisa punya waktu banyak untuk diri sendiri...banyak deh kak.” Tuturnya kepada saya.
Banyak orang Kristen memandang pelayanan sebagai sesuatu yang melelahkan, menyita waktu, membuang tenaga pikiran, merugikan baik secara materil, dan lain sebagainya. Apakah benar pelayanan menjadi sesuatu yang sangat merugikan manusia? Tergantung...tergantung kita menilai dan memahami sebuah pelayanan yang kita lakukan. Kita akan selalu merasa pelayanan sebagai sesuatu yang memberatkan bila kita melihat pelayanan adalah sebuah kewajiban yang harus kita lakukan demi mendapatkan keselamatan kekal.
Pelayanan yang kita lakukan bukanlah suatu kewajiban. Tuhan tidak pernah mewajibkan kita untuk melayani Dia. Dia memanggil kita, dan bukan mewajibkan kita. Kita diperkenankan untuk menjawab ya atau tidak terhadap pelayanan yang Tuhan tawarkan. Oleh karena itu pelayanan, merupakan jawaban dari kerelaan kita. Bila rela saja tidak, bagaimana dapat melayani dengan sukacita? Kerelaan adalah dasar dari sukacita yang tidak terkondisi. Ketika kita mulai memberi diri, rela untuk dipakai, rela untuk memberi, rela untuk melakukan hal yang dianggap berat oleh kebanyakan manusia, kita akan menemukan diri kita yang mampu mengatasi segala kesulitan terberar sekalipun dalam hidup dengan tetap mengucap syukur kepada Tuhan.
Jadi, Melayani itu apa sih? Ada yang mengatakan bahwa melayani berarti membantu menyiapkan, mengurus apa yang dibutuhkan seseorang. Dapat dikatakan melayani, secara hakekat adalah suatu kegiatan yang memang diperuntukkan untuk orang lain, untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan orang lain. Lalu kini apa bedanya dengan pelayanan?pelayanan ternyata memiliki makna yang sedikit berbeda. Dimananakah perbedaannya? Perbedaannya adalah bahwa pelayanan adalah suatu kegiatan atau usaha melayani orang lain dengan memperoleh imbalan, atau yang biasa kita sebut dengan jasa.
Bukanlah sesuatu kekeliruan bila kita, sebagai pelayan yang memberikan pelayanan di gereja, rumah hingga masyarakat memilih untuk memberikan pelayanan dengan mengharapkan imbalan, karena memang itulah arti pelayanan menurut KBBI. Tapi tentunya, itu bukanlah arti pelayanan menurut Kekristenan. Lalu apa arti pelayanan yang dilakukan dalam kerelaan dan sukacita menurut bacaan kita hari ini?
Dalam kisah pertama kita pelayanan yang dilakukan Abraham kepada 3 orang utusan Allah adalah pelayanan yang dilakukan dengan penuh inisiatif. Banyak orang kristen, yang menyatakan diri sebagai pelayan Tuhan, mengumbar hal manis di depan orang lain yang dilayaninya, namun menusuk mereka dari belakang. Mari kita renungkan berapa banyak orang Kristen, termasuk kita yang mengumbar janji di depan dan melanggarnya dengan mencari pembenaran atas diri sendiri. “oh iya tenang saja, nanti saya akan bantu ko, pasti beres, nanti saya pasti akan mengerjakannya. Tenang saja, jangan kuatir, ada saya kok, nanti saya yang akan menyampaikan kok!” namun apa yang dikatakannya itu tidak pernah diwujudkan, alih alih meminta maaf atas pelanggaran janji yang dilakukan, malah mengatakan “Yah saya tidak tahu sih apa yang harus saya lakukan, saya kan orang baru di sini. Aduh maaf saya kan sibuk, jadi belum sempat mengerjakan.” Abraham bukanlah orang yang suka mengumbar janji dan bersungut2 dalam menjalankan janjinya. Apa yang ia katakan sebagai bentuk inisiatif yang tulus (dan bukan hanya untuk menjilat), dilakukannya hal tersebut itu dengan sebaik2nya, bahkan terbaik, walaupun sesungguhnya ia bisa melakukannya dengan berat hati dan akhirnya memberi yang sekedarnya. (Kej 18: 6-8) Jadi bagi Abraham, pelayanan tidak dilihat dari berapa banyak yang ia berikan kepada orang yang dilayaninya, namun seberapa ia mampu memberikan bukan hanya yang baik tapi yang terbaik bagi orang2 yang dilayaninya, dengan penuh kerelaan dan sukacita.
Bagaimana dengan kisah Maria? Apa arti pelayanan bagi seorang Maria? Maria melayani Tuhan bukan dengan kesibukan, bukan dengan kreativitas yang tinggi, dengan kerja keras yang nampak, seperti kebanyakan manusia memahami pelayanan. Tapi yang dilakukan Maria lebih dari itu semua, yaitu ketika ia meletakkan, mengarahkan dan memberikan hatinya kepada Tuhan. “ Bagaimana dan dengan apa seharusnya seorang pelayan Tuhan melayani Tuhan dan sesama?” Ketika pertanyaan itu saya lontarkan kepada seorang rekan mahasiswa Teologi apa kira2 jawaban yang ia berikan? “pake tangan lah kak...pakai apa lagi?” Saya tersentak mendengar jawaban itu, walau jawaban itu adalah jawaban yang sangat manusiawi,... sangat normal! Namun Apa yang normal dan manusiawi menurut manusia, belum tentu normal menurut pandangan Allah. Saya memiliki teman yang tidak memiliki tangan yang sempurna, ia adalah seorang sarjana komputer lulusan Universitas Indonesia. Ia juga seorang Master Ministry dari STT Jakarta, dan juga seorang Sarjana Sains Teologi dari seminari yang sama. Ia ditolak untuk menjadi pengerja dengan alasan ia tidak punya tangan yang sempurna, lalu bagaiaman nanti ia mengenakan jubah kebesaran seorang pendeta? Bagaimana ia dapat menggunakan jas paling tidak dan melakukan penyerahan alkitab di bawah mimbar? Apakah seseorang yang tidak memiliki tangan tidak dapat melayani Tuhan? Atau adakah seseorang yang tidak memiliki kompetensi, yang dianggap oleh banyak manusia sebagai syarat untuk melayani, tidak dapat melayani ? Maria tidak memberikan apapun yang menurut manusia berharga untuk diberikan kepada Allah, tapi ia memiliki hati yang bersih, yang murni dan tulus, yang ia berikan khusus kepada Allahnya. Sadarkah kita, bahwa kita tidak akan penah dapat melayani Tuhan dan sesama dengan sukacita, tanpa kerelaan memberi hati untuk diisi, dipenuhi oleh Tuhan sendiri. Maria dengan penuh kerelaan dan sukacita memberi dirinya yang utuh kepada Tuhan bukan hanya sekedar mencari pengakuan dan pujian dari orang lain, yang mengatakan betapa hebatnya dia dapat melakukan ini dan itu.
Yesus, bagaimana Yesus dapat menjalankan pelayanan dengan sukacita, tanpa keterpaksaan, tanpa gerutu dan kemarahan kepada BapaNya yang membiarkanNya mati di tangan orang-orang berdosa? “Oh karena Dia Tuhan.. makanya Ia bisa melakukan itu semua!!” biasanya menjadi alasan kita untuk tidak melakukan hal yang sama bagi Tuhan dan sesama. Apakah itu alasan yang tepat untuk menilai pelayanan Yesus yang dilakukannya dengan penuh sukacita dan kerelaan? Saya rasa itu adalah alasan yang kurang tepat, karena walaupun Yesus adalah Allah 100 % Dia juga adalah Manusia 100% dan tidak ada dari kita yang menyangkal kemanusiaanNya bukan? Tapi mengapa Ia bisa? Karena ia adalah seorang pengikut Allah yang dewasa dan matang.
Manusia yang dikatakan dewasa adalah manusia yang hidupnya tidak berorientasi pada dirinya sendiri tapi pada orang lain dan tanpa membeda2kan satu dengan yang lain.
Manusia yang tidak hanya tahu apa yang terbaik bagi dirinya, namun juga tahu yang terbaik bagi orang lain serta rela memberi yang terbaik bagi orang lain tersebut.
Manusia yang rela mengakui kelebihan orang lain dan menjadikannya sesuatu yang memperkaya dirinya dan bukan mengancam eksistensinya dan mampu bersukacita atas keberhasilan orang lain.
Manusia yang rela memberi dan memperkaya dunia karena itulah bentuk sukacita yang dimilikinya, bukan hanya meminta dunia memenuhi dan memperkaya hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar