Kis 10: 44-48
Maz 98: 1-9
1 Yoh 5: 1-6
Yohanes 15 9-17
Pertanyaan:
1. Apa makna seorang sahabat bagi manusia?
2. Mengapa Allah menempatkan diriNya sebaai sahabat bagi manusia dan bukan lagi hamba?
3. Apa konsekuensi menjadi seorang sahabat Tuhan, dibanding dengan menjadi sahabat seorang manusia?
Masihkah kita dapat menemukan sahabat yang sungguh menjadi teman di kala duka dan susah? Masihkah dapat kita temukan seorang sahabat yang mampu bersikap lebih dari seorang saudara sekalipun? Agaknya, kita mendapati banyak kesulitan dalam menemukan seorang sahabat seperti itu bukan? Yang marak kini adalah istilah: “Jeruk makan Jeruk”, “pren makan pren.” Sahabat dunia, tak ada bedanya dengan serigala berbulu domba, yang siap menyergap dan menyerang kita ketika kita lemah. Mereka bukan menjadi oase, yang mampu memberikan kesegaran, ketenangan bahkan menjadikan kehidupan menjadi lebih hidup. Alih-alih mereka menjadi duri dalam daging, yang sering kali menjerumuskan, menjatuhkan, dan akhirnya mengambil segala sesuatu yang berharga bagi hidup sahabatnya.
Tidak sedikit remaja atau pemuda yang mengeluh, bahwa sahabat yang dimilikinya mengambil kekasihnya, menjerumuskan ia kepada hal negatif (narkoba, seks bebas, kehidupan malam, dan lain sebagainya). Tak mengherankan Paulus menasihatkan kita bahwa pergaulan yang buruk sungguh akan merusakkan kebiasaan yang baik. Manusia yang seharusnya hadir untuk manusia lain sebagai sesama ciptaan Tuhan, menjadi musuh dan penghianat yang paling kejam bagi sesamanya itu.
Tuhan tahu pasti bahwa tidak ada seorang manusiapun yang dapat hidup dengan dirinya sendiri. Semua manusia membutuhkan teman, manusia lain tidak hanya untuk bersosialisasi, namun terutama untuk saling melengkapi dan mengisi satu dengan yang lain. Untuk itu Ia hadir tidak hanya sebagai Tuhan, sebagai Tuan, Hakim, Bapa, namun juga sebagai sahabat. Sahabat adalah sesama yang terdekat, bukan hanya untuk sekedar menemani, namun juga jadi tempat bersandar yang dapat diandalkan. Teman yang ada ketika masa-masa sulit sekalipun menghampiri kehidupan manusia. Mereka yang tidak hanya ada ketika kita bahagia, tertawa, namun mereka yang mampu menangis bersama kita yang menangis, berduka bersama mereka yang berduka, dan bersusah payah bersama mereka yang bersusah payah.
Sebagai seorang sahabat, Tuhan juga tidak membangun tembok, bahkan ia tidak membiarkan tembok-tembok manusia menghalangi kasihNya yang terlampau besar untuk dapat dimengerti dan dipahami manusia seperti kita. Ia menghancurkan apa yang dianggap manusia sebagai pembatas diantara aku dan dia, kita dan mereka. BagiNya sahabat bukanlah orang yang hanya hadir bagi sesamaku ‘semua yang sama denganku’ (sama latar belakang, sama suku bangsa, sama tingkat ekonomi, sosial, sama denominasi gereja, ajaran, hingga kepercayaan dan agama yang sama), dan merasa bahwa mereka yang ‘berbeda’ tidak layak menjadi seorang sahabat bagi kita. “Nggak level lah!”, “Bersahabat dengan mereka yang bukan Kristen? Wah itu namanya mengkafirkan diri! Karena terang dan gelap tidak akan pernah dapat bersatu.” Adakah kita sering kali berlaku seperti itu? Siapa yang mengatakan kita terang dan mereka gelap? Yakinkah kita bahwa kita adalah terang dan yang lain, yang berbeda dengan kita adalah gelap? Wah...kita lebih dari Tuhan ya.... ketika kita berani menghakimi bahwa orang lain gelap dan hanya kita yang terang!!
Tuhan hadir bagi semua orang, bukan hanya bagi kita yang dianggap dan menganggap diri mampu menjawab panggilan Tuhan. Ia hadir bagi semua bangsa dan semua kepercayaan yang pernah ada di muka bumi ini. Tidak ada yang lebih spesial, lebih berharga, dan lebih diutamakan. Semua manusia sama di hadapan Tuhan, sama berharganya, sama dianggapNya sebagai sahabat.
Berbeda dengan Tuhan yang menjadi sahabat bagi semua ciptaanNya, kita lebih suka memilih siapa yang boleh menjadi sahabat bagi kita dan mana yang tidak. Termasuk ketika kita menganggap bahwa Tuhan hanyalah milik kita dan bukan milik bangsa-bangsa lain, kepercayaan lain, agama lain. Yesus hanya milik orang Kristen. Ketika kita mulai mengklaim bahwa Yesus hanyalah milik kita, maka secara tidak sadar kita mulai memenjarakan Yesus dalam kerangka berpikir kita, dengan logika kita, dalam dogma kita, dan kita tidak membiarkan Ia bebas, selayaknya Ia sebagai Tuhan dan pencipta semua manusia. MenjadikanNya sahabat kita seorang dan tidak bagi yang lain, sama dengan menutup karya Tuhan bagi mereka. Akhirnya, nampaklah keegoisan kita sebagai manusia yang memang lebih suka menang sendiri, selamat sendiri, dan bahagia sendiri, daripada memperkenalkan kepada orang lain bahwa Yesus adalah sahabat yang sejati bagi manusia.
Kini, bagi kita yang merasa menjadi sahabat-sahabat Allah dan mengklaim Allah sebagai milik kita, adakah kita menajdi sahabat yang baik bagi Tuhan? Tuhan adalah sahabat yang sejati adalah klaim yang tidak perlu dipertanyakan ulang. Namun bagaimana dengan kita? sudahkah kita juga menjadi sahabat yang baik bagiNya, yang membuatNya betah berteman dan bersahabat dengan kita, dan tidak membuatNya mencari sahabat yang lain? Apa ciri yang harus kita miliki untuk menjadi seorang sahabat yang baik bagi Allah?
1. Mengasihi Allah. mudah untuk dikatakan namun sulit untuk dilakukan. Mengasihi Allah bukan hanya dengan melayani di gereja, bukan dengan rajin datang beribadah di gereja, bukan juga dengan memberikan persembahan yang banyak bagi gereja. Mengasihi Allah harus dinyatakan dengan kasih kita kepada manusia lain. Mengasihi Allah yang diungkapkan oleh Rasul Yohanes, menggunakan kata agapao. Apa maknanya bagi kita? bahwa mengasihi Allah tidak dapat dilakukan dengan kasih kita sebagai manusia yang terbatas, yang hanya mengasihi kalau ada keuntungan yang dapat diperoleh, yang mampu mengasihi bila dikasihi terlebih dahulu. Mengasihi Allah dengan kasih yang juga dariNya, dengan standarNya yaitu dengan caraNya, dengan ketulusanNya. Sanggupkah? Pekerjaan yang berat bukan? Jadi jangan pernah bangga dan berkata bahwa kita mampu mengasihi Allah. Kita hanya mampu mengasihi Allah bila Allah memberi kita kemampuan, kekuatan, hikmatNya kepada kita. Sebagai manusia, jangan pernah sombong bila kita menilai diri mampu mengasihi Allah, KARENA TIDAK ADA MANUSIA YANG BISA!!
2. melakukan perintahNya. Kasih terkadang terlalu ambigu untuk dinyatakan hanya dalam kata dan kalimat. Wujud paling nyata dari kasih hanyalah perbuatan. Tanpa perbuatan nyata kasih kita kepada Allah hanyalah janji dan omong kosong semata. “Tong kosong nyaring bunyinya” Yohanes menggunakan kata tereo, yang maknanay lebih kepada memelihara. Memelihara berarti bukan hanya melakukan, tapi juga merawatnya, memberi makan, melakukan segala cara agar Firman itu tidak berlalu begitu saja, bahkan mampu bertumbuh dengan sehat, berbuah baik, manis, tidak masam, tidak kering, tidak dimakan kutu, benalu dan lain sebagainya. Sehingga Firman Tuhan dapat bertumbuh subur, menghasilkan buah baik melalui perbuatan baik. Tidak sulit kok! Dengan iman bahwa setiap kita lahir dari Allah dan memiliki Roh Allah yang besar yang memberikan segala sesuatu yang kita butuhkan untuk menjadi anak-anakNya yang taat. Tentunya, bila kita juga mau. Orang yang tidak mau tidak akan bisa dipaksa. Orang yang diberikan kesempatan, bahkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemenang, tidak akan menjadi pemenang bila ia tidak mau bertanding dan membuiktikan bahwa ia layak disebut sebagai pemenang.
3. Tinggal dalam KasihNya. Kata tinggal disini tidak sama artinya dengan tinggal di rumah. Dimana ada saatnya kita meninggalkan rumah untuk bekerja, bersekolah, berbelanja. Rumah yang seringkali hanya menjadi tempat bagi manusia untuk beristirahat setelah seharian berada di luar rumah untuk beraktivitas. Dengan memperlakukan Tuhan sebagai hanya sebagai rumah tinggal akan menjadikan kita manusia yang datang kepada Tuhan hanya bila ada persoalan, ketika duka cita datang menghampiri, ketika tubuh ini sudah lelah untuk beraktifitas menghadapi problema hidup. Jadi? Jadilah seekor siput yang membawa rumahnya kemanapun ia pergi. walaupun rumahnya itu terkadang terasa berat dan keras, dibandingkan tubuhnya yang lembut dan lemah, namun ia yakin disitulah pertolongan dan perlindungannya. Hanya dalam rumahnya ia merasa aman, damai, sukacita, bahkan kuat. Sehingga cuaca seperti apaun tidak akan dapat menggoyahkannya. Aman dan terlindung dengan kasih yang tak pernah akan habis dan terkikis oleh jaman, dan kerasnya hidup.
Akhirnya, jangan buru-buru mengatakan bahwa kita adalah sahabat2 Allah bila kita tidak pernah dapat menunjukkan bahwa kita layak disebut sahabat-sahabat Allah. AMIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar