Yohanes 20: 24-29
Pertanyaan:
1. mengapa dikatakan berbahagia orang yang tidak melihat namun percaya?
2. apa kebahagiaan versi manusia?
3. mengapa banyak orang yang baru dapat berbahagia bila ia melihat?
Manusia mana yang dengan mudahnya percaya terhadap sesuatu yang belum jelas, apalagi menurut pandangan orang lain adalah sesuatu yang hanya angan dan imajinasi? Sekian ratus tahun yang lalu manusia tidak percaya bahwa suatu saat nanti bangsanya akan menjejakkan kaki di bulan. Banyak juga yang tidak percaya bahwa bumi ini bulat adanya, dan bukan datar seperti apa yang dikatakan oleh para bapak gereja.
Manusia membutuhkan bukti untuk dapat percaya kepada sesuatu. Lumrahkah? Tentu saja... manusia yang terlalu mudah untuk percaya menjadi manusia yang terlalu mudah untuk dibodohi, bahkan menjadi manusia yang cenderung akan selalu menjadi korban penipuan. Manusia harus mampu menggunakan apa yang dimilikinya untuk tidak mudah percaya terhadap hal-hal yang dianggap sebagai mitos belaka. Untuk apa manusia diciptakan dengan mata untuk melihat dan otak untuk berpikir, bila manusia tidak menggunakannya?
Tapi itulah kecenderungan manusia yang selalu ingin mencari bukti terhadap segala sesuatu untuk bisa percaya kepada segala sesuatu. Termasuk ketika manusia mencari bukti dari keberadaan Tuhan. Manusia lebih suka menantang Tuhan untuk mendapatkan bukti nyata dari keberadaanNya. Hal ini bukan hanya kecenderungan para manusia modern yang katanya memiliki rasionalitas yang tinggi. Jauh sebelum manusia dianggap modern, manusia sudah meragukan ketuhanan Yesus. Yesus dianggap sebagai manusia yang tidak waras, memiliki imajinasi berlebih, dan bahkan menjadikan Yesus layaknya pesakitan yang pantas mendapat salib sebagai hukuman.
Apa yang dilakukan umat Yahudi pada masa itu merupakan upaya merasionalisasikan Tuhan yang Maha dan tak terbatas itu. Bagi mereka adalah sesuatu yang mustahil bila seorang Allah turun menjadi manusia yang lahir dari seoraang manusia yang terbatas. Mustahil bila seorang bernama Yesus yang hanyalah anak seorang tukang kayu, yang dianggap oleh banyak orang sebagai anak haram adalah seorang Mesias yang dijanjikan dan dinubuatkan oleh para nabi ratusan tahun yang lalu dalam kitab suci. Bagi mereka seorang Mesias haruslah orang yang mampu membawa kebebasan, kemerdekaan dan menjadi pemimpin yang berkharisma dan disegani, dan bukan hanya seorang anak tukang kayu yang untuk membela diriNya saja Ia tidak mampu.
Untuk percaya bahwa Yesus adalah mesias yang dijanjikan itu saja tidaklah mudah, apalagi untuk memahami kebangkitan Yesus. Memang benar Yesus pernah membangkitkan orang mati, Ia pernah membangkitkan Lazarus dan mertua Petrus, namun itu saja tidak cukup memberi bukti kepada para murid untuk percaya bahwa Yesus telah bangkit dan telah menemukan kemenanganNya . itulah yang dialami oleh seorang Tomas yang disebut juga Didimus. Baginya kebangkitan Yesus hanyalah rekayasa dan impian rekan-rekan sesama murid yang merasa begitu sedih dan putus asa sepeninggalan Yesus.
Sebagai manusia Tomas lebih memilih untuk menggunakan inderanya manusia untuk dapat menentukan sesuatu dapat dipercaya atau tidak. Inderanya telah menghalangi dia untuk melihat kuasa dan perbuatan Allah dalam hidup manusia. Tomas tidak sadar bahwa apa yang dimiliki manusia adalah terbatas adanya, baik itu mata, pikiran, hikmat dan lain sebagainya. Tomas memilih untuk menggunakan rasionalitasnya untuk menilai kebangkitan Yesus.
Hal yang harus kita ingat adalah bahwa sebagai manusia, mata kita terbatas, pendengaran kita terbatas, pemikiran dan cara pandang kita juga terbatas. Buktinya? Manusia tidak bisa memandang apa yang ada di belakang kepalanya bukan? Tanpa cermin adakah manusia yang dapat melihat hidungnya? Matanya? Alisnya? Bahkan bibir dan mulutnya? Tidak!!! Itulah makna perkataan Yesus bahwa: berbahagialah kita yang tidak melihat namun percaya. Ketika kita lebih percaya akan penglihatan dan indera kita maka sesungguhnya kita telah menjadi bodoh di satu sisi dan sombong di sisi yang lain. Mengapa? karena kita lebih percaya terhadap apa yang terbatas dibanding apa yang tidak terbatas, dan kita merasa bahwa diri sebagai orang yang paling pandai, yang mampu menilai segala sesuatu dengan benar, dan tidak ada kuasa yang lebih besar dari kuasa yang kita miliki sebagai manusia.
Percaya kepada Tuhan, tentu bukan berarti kita menelan mentah-mentah atau bulat-bulat segala ajaran tentang Tuhan. Tuhan memberi kita akal budi untuk dapat memilah dan memilih dengan benar! Karena tidak semua yang ada di dunia ini berasal dari Tuhan. Tuhan ingin kita menguji Roh, menguji ajaran!!! Beriman memang bukan sesuatu yang rasional (masuk akal) semata, tidak juga menjadikkannya irrasional (tidak masuk akal), namun suprarasional (melampaui akal). Beriman adalah ketika kita mampu percaya dan mempercayakan diri kepada kuasa yang lebih besar dari kita, disini, kuasa itu disebut Tuhan!
Tentu bukan perkara mudah untuk percaya sekaligus mempercayakan diri kepada sosok yang tidak pernah kita lihat. Oleh karena itu yang perlu kita lakukan adalah mengenalNya. Bisakah orang tidak melihat namun mengenal? BISA!! Dan itu sudah dibuktikan oleh Abraham, Nuh, Timotius, Titus dan banyak pahlawan iman yang lainnya. Atau kita lebih suka Tuhan memperlihatkan diriNYa kepada kita seperti kepada Tomas dan berkata seperti Ia berkata kepda Tomas?
Bagaimana caranya? Bagaimana cara mengenalNYa hingga kita dapat percaya tanpa harus memandang muka dengan muka?
1. Jalinlah hubungan denganNya. Mengenal itu bukan hanya sekedar tahu, baik nama, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, nomor telepon dan lain sebagainya. Namun mengenal berarti menjalin hubungan yang terus menerus. Mengenal juga berarti kita memiliki pengetahuan tentang Dia yang kita kenal, apa yang Ia suka, apa yang Ia tidak suka, apa yang Ia butuhkan, yang Ia harapkan dari kita. Mau mengenal berarti juga mau bergaul, mau bersahabat, menyediakan waktu untuk berelasi, bukan berlandaskan formalitas belaka.
2. Pertahankan hubungan denganNya. Menjalin hubungan terkadang lebih mudah dari pada mempertahankannya. Mengapa? karena dalam hubungan sering kali kita menemukan beragam hambatan, rintangan yang terkadang membuat hubungan itu retak dan bahkan putus sama sekali. Tentunya dalam menjalin hubungan dengan Tuhan, kitalah yang lebih sering memutuskan hubungan secara sepihak. Mempertahankan berarti mau mengerti, menerima apa adanya, serta belajar untuk tidak mengeluh atau bahkan melarikan diri ketika badai persoalan datang. Mempertahankan hubungan juga berarti mempertahankan keharmonisan, agar tetap terjalin dengan baik, saling memberi dan menerima.
Tentunya pertanyaan utamanya adalah: “ bagaimana kita yang terbatas ini dapat menjalin hubungan dengan Dia yang tidak terbatas itu? “ Ya memang secara rasional tidaklah mungkin kita manusia yang terbatas dapat menjalin hubungan dengan Dia yang tidak terbatas itu. Namun kematian dan kebangkitanNya telah menjadikan pengenalan kita menjadi sesuatu yang mungkin bahkan menjadi sesuatu yang sangat mudah.
Dengan kematian dan kebangkitanNya, seluruh dunia mengenal Dia melalui injil dan surat yang ditulis dan dibaca sepanjang masa, Alkitab. Ya Alkitab memberikan kita kesaksian akan siapa Yesus sesungguhnya, yang adalah Allah dan Tuhan, namun juga manusia dengan segenap kelemahan dan kekuranganNYa. Bagaimana kita mau mengenal Tuhan kita yang tidak nampak itu bila kita tidak mau membaca kisahNya dalam Alkitab? Bagaimana mau mengenal apa yang Ia inginkan, apa yang tidak Ia sukai, bila kita tidak pernah mau memahami apa yang Ia katakan dalam Alkitab?
Cukupkah kita mengenalnya, bila hanya dengan membaca Alkitab saja? Tidak, bila kita juga tidak mau menjalin komunikasi yang baik denganNya melalui Doa. Doa itu bukan hanya sekedar cara ketika kita ingin mengutarakan keinginan kita kepada Tuhan, namun ketika kita juga belajar mendengar apa yang Tuhan inginkan untuk kita perbuat dalam hidup. Lebih dari itu doa menjadi sarana bagi kita untuk menyelaraskan keinginan kita dengan kehendakNya, sehingga tantangan yang sering kali hadir dalam suatu hubungan (perbedaan pendapat dan kebutuhan) dapat diatasi dengan baik.
Namun, Satu hal yang perlu kita ingat dan pahami adalah, bahwa kita bukan sedang menjalin hubungan dengan sesama manusia. Kita sedang menjalin hubungan dengan Tuhan dan Tuan yang memiliki hidup dan menciptakan kita. Tuhan yang jauh lebih berkuasa dengan kita, yang sering kali tidak mampu dipahami dengan keterbatasan kita sebagai manusia. Tuhan yang tidak dapat dikotak-kotakan dengan pemahaman dan hikmat kita... Dia adalah Tuhan yang bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar